A. Riwayat Hidup Rabi’ah
al-Adawiyah
Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, seorang
pemuka sufi abad kedua hijriyah. Ia lahir di Basrah tahun 95 H./713-714 M.,
pendapat lain mengatakan tahun 99 H./717 M.[1] Dia adalah anak keempat, karenanya diberi
nama Rabi’ah yang artinya anak keempat, dari suatu keluarga miskin.[2] Kedua orang tuanya telah meninggal ketika
ia masih kecil. Namun hal tersebut tidak membuatnya kehilangan pedoman.
Demikian berat cobaan yang dihadapi ia tetap menerimanya dengan sabar dan penuh
tawakkal kepada Allah swt.
Pada usia menjelang dewasa, ia pergi dan berpisah dari
saudara-saudaranya, namun di tengah perjalanan yang tidak tentu arah, ia
ditangkap oleh seorang penjahat lalu menjualnya kepada seseorang dengan harga
enam dirham. Sejak saat itu ia menjalani hidupnya sebagai seorang budak.[3] Di siang hari ia harus bekerja berat
melayani tuannya dan pada malam hari ia beribadah kepada Allah swt.
Pada suatu malam terjadi suatu peristiwa aneh yang
merubah jalan hidupnya; tuannya terjaga dari tidurnya dan melalui jendela
melihat Rabi’ah sedang beribadah dan sujud, di atas kepalanya nampak cahaya
yang menerangi seluruh rumahnya, dalam ibadahnya Rabi’ah berdoa: “Ya Allah
Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu. Jika
Engkau dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat
sekejappun dari mengabdi kepada-Mu”. Melihat kejadian tersebut, sang tuan
merasa takut dan tidak dapat memejamkan matanya hingga menjelang fajar. Pada
pagi harinya, ia memanggil Rabi’ah dan memerdeka-kannya.[4] Sejak saat itu ia menghirup udara
kemerdekaannya sebagai manusia.
Setelah Rabiah bebas, ia memusatkan perhatian pada
kegiatan spritual. Di sana ia memiliki suatu majelis yang banyak dikunjungi
oleh murid-muridnya yang terdiri dari pada zâhid untuk belajar dan
bertukar pikiran.
Pada masanya di kota Bashrah sudah mulai ada halaqah (pengajian),
yang dirintis oleh Hasan al-Bashri. Namun tak ditemukan data akurat, Rabi`ah
pernah mengikuti halaqah tersebut dan berguru kepada seorang syaikh atau
seorang guru. Namun menurut A. J. Arberry, dia murid tokoh zahid, yaitu Abu
Sulaiman ad-Darani.[5] Walaupun
demikian Rabi’ah sebenarnya sudah memiliki dasar pengetahuan agama, Sebab sejak
kecil Rabi`ah selalu ikut kegiatan ibadah orang tuanya, baik itu ibadah mahdhah
atau hanya sekedar membaca al-Qur’an dan berzikir.
Rabi`ah memilih menjalani kehidupannya seorang diri,
Rabi`ah tidak pernah kawin, sungguh pun setidaknya ada 2 (dua) orang yang sudah
pernah melamarnya untuk berumah tangga.[6]
Dalam hidupnya yang yang diarahkan pada dimensi spritual,
Rabia’h al-Adawiyah menjauhi kehidupan duniawi (zuhud, ascetic). Ia
hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan
kepadanya. Kehidupan Rabia’ah yang ascetic ini bisa dimaklumi, dengan
dua pendekatan, pertama, Rabi’ah menyadari latar belakang hidup
keluarganya sebagai orang yang miskin. Secara psikologis pengalaman masa
lalunya sebagai orang yang miskin dan bekas budak membawanya untuk tidak perlu
hidup bermewah-mewah. kedua, sebagai seorang sufi, hal pertama yang
harus ditempuh sebelum bergumul dalam dimensi spritual ialah kehidupan
yang ascetic.
Rabi’ah al-Adawiyah menghabiskan sisa hidupnya di Bashrah
hingga wafatnya tahun 185 H./801 M. Rabi’ah al-Adawiyah tidak meninggalkan
ajaran tertulis. Langsung dari tangannya sendiri. Ajarannya hanya dapat
diketahui melalui para muridnya dan baru dapat dituliskan beberapa tahun
setelah kematiannya.
B. al-Mahabbah
al-Ilahiyah
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk mencintai Allah. Ada juga yang mengartikan mahabbah
sebagai ketaatan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya
serta ridha terhadap segala ketentuannya[7]. Harun Nasution menyebut pengertian mahabbah
dalam terminologi sufisme sebagai berikut:
1.
Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.
Mengosongkan hati dari segala-sesuatu kecuali dari Tuhan.[8]
Jadi dapat dipahami bahwa hubb dalam terminologi
mistisisme Islam (tasawuf) adalah kecenderungan hati seseorang (sûfi) untuk
hanya cinta kepada Allah, mengosongkan bilik-bilik hatinya dari selain Allah,
disertai ketaatan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya
Menurut Imam al-Ghazali, kecintaan kepada Allah dan
rasul-Nya adalah fardhu yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil pasti.[9] Munculnya mahabbah ini diinspirasi
oleh petunjuk-petunjuk al-Qur’an, antara lain QS al-Ma’idah: 54 dan QS Ali
Imran: 30.
Kecintaan kepada Allah adalah tujuan yang tertinggi dari maqamat
yang dilalui oleh para sufi.[10] Al-Kalabazi membagi mahabbah ini
kepada dua macam, yaitu cinta yang hanya dalam pengakuan saja, dan cinta yang
dihayati dan diresapi dalam hati keluar dari lubuk hati. Cinta yang pertama ada
pada setiap manusia, sedang cinta yang kedua ditujukan hanya kepada Allah.[11] Cinta yang seperti inilah yang
dianut dan diamalkan oleh kaum sufi.
Menurut Margaret Smith, Rabi`ah dinilai orang pertama
yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah
perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi
kala itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsepsi al-mahabbah atau al-hubb
menurut Rabi`ah, akan ditelusuri pernyataannya tentang cinta[12].
Pada suatu waktu Rabi`ah ditanya pendapatnya tentang
batasan konsepsi cinta. Rabi`ah menjawab: Cinta berbicara dengan kerinduan dan
perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta.
Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat
menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum
pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila
tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan
menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.[13]
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang menanyakan
cinta kepada Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab, bahwa: Cinta muncul dari keazalian
(azl) dan menuju keabadian (abad) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari
delapan belas ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya.[14]
Dalam dialog lain, ada 2 (dua) batasan cinta yang sering
dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada
Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta.
Dengan kata lain, maka pertama, dia harus memalingkan punggungnya dari
dunia dan segala daya tariknya. Lanjutnya kedua, dia harus memisahkan
dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang
Pencipta. Tambahnya ketiga, dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu
duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena
kesenangan dan kesengasaraan dikhawa-tirkan mengganggu perenungan pada Yang
Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh
kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia sendirilah yang wajib
dicintai hamba-Nya.[15]
Pernyataan kedua, kadar cinta kepada Allah itu harus tidak
ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan
dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan hukuman, paling tidak
pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan Allah
dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja diubah agar
lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar
kecintaan inilah, menurut Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan
menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan
cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan Yang Dicintai
dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.[16]
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan 2 (dua) macam
pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan
tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta tersebut, tertuang dalam lirik
syairnya:
أحبك حبين حبّ الهوي
#
وحبًّا لأنك أهل لذاكا
فأما الذي هو حبّ
الهوي # فشغلي
بذكرك عمّن سواك
وأمّا الذي انت اهلٌ له
#
فكشفك لي الحجب حتّي أراكا
فلا الحمد في ذاأوذاك لي
# ولكن
لك الحمد في ذا وذاكا.
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan
cinta dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati
berzikir pada-Mu daripada selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu Adalah
anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk
ini dan untuk itu bagiku Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan
untuk itu”.[17]
Pembagian cinta ini dinilai sebagai pelengkap keteladanan
awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi karakteristik
sufisme, yakni pengalihan sufisme dari pola hidup protes terhadap dominasi
duniawi (kemewahan hidup ekonomi dan konflik politik), kepada suatu teori
kemaujudan dan tatanan teosofi. Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim
rohaniyah, maka dalam pembagian cinta, Rabi`ah-lah orang yang merintis untuk
membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniyah.
Dialah pelopor yang memperkenalkan cita ajaran mistik
dalam Islam. Dimaksud, terbukanya tabir penyekat alam ghaib, sehingga sang sufi
akan bisa menyaksikan dan mengalami serta berhubungan langsung dengan dunia
ghaib dan zat Allah. Kembali ke banyaknya pernyataan cinta Rabi`ah. Muncul
pertanyaan, apakah muncul begitu saja, tanpa suatu proses? Dalam penelusuran
Muhammad Atiyah Khamis, Rabi`ah telah memperluas beberapa makna ataupun lingkup
cinta Ilahi.
Dulu Rabi`ah mencintai Allah sebagaimana lazimnya
kebanyakan umat Islam, yaitu didorong karena mengharapkan surga Allah dan
sebaliknya takut akan neraka-Nya. Ini ternyata jelas melalui pertanyaan doa
Rabi`ah kepada Allah, yaitu … “O, Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu
di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu menyebut-Mu,
dan hamba
yang senantiasa takwa pada-Mu.[18]
Sesudah Rabi`ah menyadari bahwa landasan cinta seperti
itu dianggap cinta yang masih sempit, Rabi`ah meningkatkan motivasi dirinya
sehingga dia sampai luluh dalam cinta Ilahi. Artinya, dia mencintai Allah
karena memang Allah patut untuk dicintai, bukan karena ketakutan terhadap
neraka ataupun disebabkan mengharapkan surga-Nya. Ini terlihat, saat Rabi`ah
sakit jama`ah menjenguk dan menanyakan keadaannya, dia menjawab, aku tak tahu
penyebab penyakitku ini.
Demi Allah, diperlihatkan padaku surga, lalu aku
tertarik untuk memilikinya. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku ini, lalu Dia
mencelaku. Dia menghendaki agar aku kembali kepada-Nya dan menyadari
kesalahanku. Jadi dia tidak ingin menjadi pekerja wanita yang tidak baik. Terus
ada peningkatan lagi. Dia justru minta dibakar api neraka, jika menyembah Allah
karena takut neraka dan sekaligus mengharamkan surga, kalau dia mengharapkan
surga.
Atas dasar cinta dalam penyembahan Allah, dia berkata,
limpahkanlah ganjaran yang lebih baik. Dia minta diberi kesempatan melihat
wajah Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, hingga merasa bahagia berada dekat
dengan Allah pada hari kebangkitan. Lantas perasaan bahagia itu diakhiri dengan
bagiku (Rabi`ah) cukuplah keridlaan-Mu saja.
إلهى لو كنت أعبدك خوفا من
نارك فأحرقني بنار جهنموإذا كنت أعبدك طمعا في جنتك فأحرمنيها وإما كنت أعبدك من
أجل محبتك فلآ تحرمني من مشاهدة وجهك [19]
Wahai, Tuhan! Apabika aku beribadah kepada-Mu hanya
karena takut kepada neraka-Mu maka bakarlah aku di neraka-Mu. Dan apabila aku
beribadah kepada-Mu hanya menginginkan surga-Mu maka keluarkanlah aku dari
surga-Mu. Tetapi, jika aku beribadah kepada-Mu hanya untuk-Mu semata,
berikanlah kepadaku keindahan-Mu yang abadi .
Begitu tingginya kadar kecintaan Rabi`ah kepada Allah
hingga pada gilirannya, dia menilai tidur itu tidak saja sebagai bagian dari
rangkaian mata rantai ibadahnya, akan tetapi juga sekaligus sebagai musuhnya
yang telah menyebabkan berkurangnya ibadah. Perhatikan petikan berikut
ini:Wahai Tuhanku, semua manusia telah tidur nyenyak. Raja-raja telah mengunci
pintu istana masing-masing. Suami istri telah berbaring di atas sofanya. Namun,
Rabi`ah yang banyak dosa ini masih bersimpuh di hadapan-Mu. Kebesaran dan
Kemuliaan-Mu-lah yang membuat aku terus berjaga malam begini.[20]
Begitu terpusatnya cinta Rabi`ah kepada Allah, pada
gilirannya cinta bagi Rabi`ah hanya tertuju kepada-Nya. Cinta bagi Rabi`ah itu
tenggelam dalam renungan mengenai Allah dan berpaling daripada segala makhluk,
hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci terhadap musuh.
Dalam pendalaman studi Margaret Smith, melalui telaah Tadzkirah al-Awliya’-nya
Fariduddin al-Aththar, yaitu “Keberadaanku telah tiada dan jati diriku pun
telah lenyap. Aku telah menjadi satu dengan-Nya”[21]
Dalam cinta sempurna seperti itu, ahli sufi tak ada lagi
dan hilang diri. Aku menyatu dengan-Nya dan sekaligus milik-Nya., harapanku
adalah penyatuan dengan-Nya, sebab itulah tujuan dari keinginanku.[22]
[1] Margareth Smith, “Rabi’ah The Mystic and Her
fellow Saints in Islam” diterjemahkan oleh Jamilah Baraja dengan judul: Rabi’ah:
Pergulatan Spritual Perempuan, (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h.
7
[2] Karena kemiskinannya al-Attar, seorang
penyair dari Parsi, mengemukakan bahwa pada malam ketika ia dilahirkan di
rumahnya tidak ada makanan, tidak ada minyak untuk penerangan bahkan secarik
kain untuk membungkusnyapun tidak ada. Oleh karena itu Ibu Rabi’ah mengatakan
kepada suaminya agar ke rumah tetangganya untuk meminjam lampu buat penerangan
dan kain, akan tetapi suaminya pulang dengan tangan hampa karena tetangga yang
didatangi tidak berkenan untuk membuka pintunya. Lihat: Wahid Bakhsh Rabbani, Islamic
Sufism, (5th Edition. 1st Publisher; Kuala Lumpur: A.
S. Noordeen, 1995), h. 322.
[3] Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi
Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 973.
[4] Abdul Mun`im Qandil, “Rabi’ah al-Adawiyah
‘Adarau al-Basrah al-Batul” terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan
Amrullah, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah dan
Cintanya kepada Allah, cet. III, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000) h.
3-4
[5] A. J. Arberry, Sufism terj. Bambang
Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan, Sya`ban 1405/Mei
1985), h.51
[7] Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi, Al-Ma’rûf
Li Mazhab Ahl al-Tasawwuf, di-tahqîq dan di-ta’lîq oleh
Mahmud Amin al-Nawâwî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 131
[9] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
(selanjutnya disebut al-Gazali), Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz IV, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), h. 311.
Daftar Pustaka
Halim Alamsyah. Makalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar