Tulisan

Al Khawarizmi "Kumpulan Ilmu Islam"

Dunia Islam benar-benar sebuah peradaban yang lengkap jika kita mau mempelajarinya. Dari obat-obatan sampai matematika ada di dalamnya, begitu juga para ahlinya. Jika dalam edisi kemarin eL-Ka menampilkan tokoh Islam klasik yang ahli di banyak bidang terutama kedokteran, kali ini giliran tokoh matematika yang akan memperkenalkan diri.

Di antara kita, banyak sekali yang mengenal dan mungkin pernah belajar satu teori matematika yang bernama Algoritma. Sebuah teori yang mempermudah manusia menghitung dalam jumlah besar dengan menggunakan sistem decimal. Jika kita pernah mempelajari, ada satu pertanyaan menarik, pernahkah kita tahu siapa yang pertama kali menemukan dan memperkenalkan rumus Algoritma? Tak lain dan tak bukan adalah orang-orang Islam.

Adalah Abu AbdullahMuhammad Ibn Musa Al Khawarizmi, seorang intelektual Islam yang lahir pada tahun 770 Masehi, di sebuah kota bernama Khawarizmi. Tak ada data yang pasti tentang tanggal dan kapan tepatnya Al Khawarizmi dilahirkan. Khawarizmi adalah sebuah kota kecil sederhana di pinggiran sungai Oxus, tepatnya di bagian selatan sungai itu. Sungai Oxus adalah satu sungai yang mengalir panjang dan membelah negara Uzbekistan.

Uzbekistan, adalah sebuah negara muslim yang besar sebelum tentara Rusia mengambil alih dan menggempur daerah itu pada tahun 1873. Ratusan tahun lebih Uzbekistan berada dalam tatanan pemerintahan Islam dengan penduduk mayoritas Islam yang hidup makmur dengan rahmat melimpah. Tapi rupanya, hal ini membuat orang-orang Rusia mulai melirik Uzbekistan menjadi satu di antara banyak negara jajahannya.

Itulah kenapa Al Khawarizmi dipanggil dengan sebutan Al Khawarizmi, untuk menunjukkan tempat awal dilahirkannya tokoh kita kali ini. Pada saat Al Khawarizmi masih kecil, kedua orang tuanya berimigran, pindah dari Uzbekistan menuju Baghdad, Irak. Saat itu Irak di bawah pemerintahan Khalifah Al Ma'mun yang memerintah sepanjang tahun 813 sampai 833.

Kelak di kota inilah lahir sebuah konsep matematika yang oleh orang Barat dan kita di sini sekarang, menyebutnya sebagai Algoritma. Entah bagaimana awalnya sampai menjadi Algoritma, tapi yang jelas ia berasal dari kata Al Khawarizmi. Mungkin orang-orang Barat dengan lidahnya terlalu sulit menyebutkan dengan fasih kata Al Khawarizmi sehingga menjadi Algoritma.

Al Khawarizmi adalah seorang tokoh matematika besar yang pernah dilahirkan Islam dan disumbangkan pada peradaban dunia. Dan mungkin tak seratus tahun sekali akan lahir ke dunia orang-orang seperti dia. Meski namanya dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang matematika, sebenarnya ia juga ahli dalam bidang yang lain. Al Khawarizmi juga seorang astronomi, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu geografi dan segala seluk belum tentang tanah dan bumi.

Ini yang menarik dalam Islam, seorang tokoh yang ahli dan dikenal dalam satu bidang, selalu saja ahli pula dalam bidang yang lain. Ada kesimpulan yang bisa ditarik dari sini, bahwa Islam adalah sebuah tatanan menyeluruh yang tak terpisahkan. Belajar matematika tak lepas pula belajar astronomi. Belajar astronomi tak ketinggalan pula belajar tentang keindahan alam dan itu tak terlepas pula dari pelajaran tauhid. Bahwa kedahsyatan alam ini tercipta karena kebesaran Allah pada manusia dan semesta.

Al Khawarizmi selain terkenal dengan teori Algoritmanya, ia juga dikenal sebagai seorang yang membangun teori-teori matematika lain, di antaranya Aljabar. Salah satu kehebatan Al Khawarizmi adalah, ia tak hanya mengenali satu hal sebagai subyek saja, tapi ia juga mampu menyelesaikan masalah yang ada dalam subyek tersebut. Dunia benar-benar tak bisa lepas dari jasa-jasa orang-orang Islam.

Aljabar diambil dari kata depan judul buku yang dikarang oleh Al Khawarizmi, "Al Jabr wa Al Muqabilah". Dalam buku ini ia merumuskan dan menjelaskan secara detail table trigonometri yang biasa kita pelajari saat ini. Tak hanya itu, jika kita pelajari secara detail, buku ini ternyata mengenalkan teori-teori kalkulus dasar dengan gampang.

Selain karya-karyanya di bidang matematika, Al Khawarizmi juga melahirkan karya dalam bidang astronomi. Ia membuat tabel yang mengelompokkan ilmu perbintangan ini. Pada awal abad 12, karya-karya Al Khawarizmi diterjemahkan ke dalam bahasa lain, dan yang pertama kali adalah bahasa latin oleh Adelard of bath dan Gerard of Cremona. Kita-kita itu adalah, The Treatise of Arithmetic, Al Muqala fi Hisab Al Jabr wa Al Muqabilah.

Di banyak universitas di Eropa, buku-buku karya Al Khawarizmi masih menjadi acuan dan text book untuk mahasiswa di sana sampai pertengahan abad ke enam belas. Karya-karyanya, setelah di terjemahkan dalam bahasa Latin, kemudian menyusul bahasa-bahasa lain seperti bahasa-bahasa yang digunakan di Eropa dan terakhir diterjemahkan dalam bahasa Cina.

Dalam bidang astronomi pun, Al Khawarizmi menyumbangkan karya-karya besarnya yang tak terbatas. Begitu juga dalam bidang geografi, ia membuat koreksi-koreksi mendasar pada pemikiran filsuf Yunani tentang geografi. Dalam sejarah tercatat tujuh puluh orang yang ahli dalam bidang geografi bekerja di bawah koordinasi Al Khawarizmi. Grup ini kemudian melahirkan peta bumi yang kita kenal sebagai globe untuk pertama kali. Karya ini dikenal dunia pada tahun 830 masehi.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 840, Al Khawarizmi meninggal dunia dengan warisannya khazanah dalam ilmu pengetahuan dunia. Kita yang masih hidup saat ini, tak bisa berbicara matematika tanpa menyebut nama Al Khawarizmi. Kita juga tak bisa bersenang-senang, tanpa mengucapkan terima kasih pada Al Khawarizmi saat mempermainkan bola dunia alias globe. Tapi yang lebih penting dari itu adalah, bagaimana caranya kita semua, mampu menjadi seperti dia. Menerangi dunia dan memberi pencerahan dengan Ilmu-ilmu Islam.!!!!


Al Khawarizmi




A.    Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah 

Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, seorang pemuka sufi abad kedua hijriyah. Ia lahir di Basrah tahun 95 H./713-714 M., pendapat lain mengatakan tahun 99 H./717 M.[1] Dia adalah anak keempat, karenanya diberi nama Rabi’ah yang artinya anak keempat, dari suatu keluarga miskin.[2] Kedua orang tuanya telah meninggal ketika ia masih kecil. Namun hal tersebut tidak membuatnya kehilangan pedoman. Demikian berat cobaan yang dihadapi ia tetap menerimanya dengan sabar dan penuh tawakkal kepada Allah swt.
Pada usia menjelang dewasa, ia pergi dan berpisah dari saudara-saudaranya, namun di tengah perjalanan yang tidak tentu arah, ia ditangkap oleh seorang penjahat lalu menjualnya kepada seseorang dengan harga enam dirham. Sejak saat itu ia menjalani hidupnya sebagai seorang budak.[3] Di siang hari ia harus bekerja berat melayani tuannya dan pada malam hari ia beribadah kepada Allah swt.
Pada suatu malam terjadi suatu peristiwa aneh yang merubah jalan hidupnya; tuannya terjaga dari tidurnya dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang beribadah dan sujud, di atas kepalanya nampak cahaya yang menerangi seluruh rumahnya, dalam ibadahnya Rabi’ah berdoa: “Ya Allah Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu. Jika Engkau dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat sekejappun dari mengabdi kepada-Mu”. Melihat kejadian tersebut, sang tuan merasa takut dan tidak dapat memejamkan matanya hingga menjelang fajar. Pada pagi harinya, ia memanggil Rabi’ah dan memerdeka-kannya.[4] Sejak saat itu ia menghirup udara kemerdekaannya sebagai manusia.
Setelah Rabiah bebas, ia memusatkan perhatian pada kegiatan spritual. Di sana ia memiliki suatu majelis yang banyak dikunjungi oleh murid-muridnya yang terdiri dari pada zâhid untuk belajar dan bertukar pikiran.
Pada masanya di kota Bashrah sudah mulai ada halaqah (pengajian), yang dirintis oleh Hasan al-Bashri. Namun tak ditemukan data akurat, Rabi`ah pernah mengikuti halaqah tersebut dan berguru kepada seorang syaikh atau seorang guru. Namun menurut A. J. Arberry, dia murid tokoh zahid, yaitu Abu Sulaiman ad-Darani.[5]       Walaupun demikian Rabi’ah sebenarnya sudah memiliki dasar pengetahuan agama, Sebab sejak kecil Rabi`ah selalu ikut kegiatan ibadah orang tuanya, baik itu ibadah mahdhah atau hanya sekedar membaca al-Qur’an dan berzikir.
Rabi`ah memilih menjalani kehidupannya seorang diri, Rabi`ah tidak pernah kawin, sungguh pun setidaknya ada 2 (dua) orang yang sudah pernah melamarnya untuk berumah tangga.[6]
Dalam hidupnya yang yang diarahkan pada dimensi spritual, Rabia’h al-Adawiyah menjauhi kehidupan duniawi (zuhud, ascetic). Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Kehidupan Rabia’ah yang ascetic ini bisa dimaklumi, dengan dua pendekatan, pertama, Rabi’ah  menyadari latar belakang hidup keluarganya sebagai orang yang miskin. Secara psikologis pengalaman masa lalunya sebagai orang yang miskin dan bekas budak membawanya untuk tidak perlu hidup bermewah-mewah. kedua, sebagai seorang sufi, hal pertama yang harus ditempuh sebelum bergumul dalam dimensi spritual ialah  kehidupan yang ascetic.
Rabi’ah al-Adawiyah menghabiskan sisa hidupnya di Bashrah hingga wafatnya tahun 185 H./801 M. Rabi’ah al-Adawiyah tidak meninggalkan ajaran tertulis. Langsung dari tangannya sendiri. Ajarannya hanya dapat diketahui melalui para muridnya dan baru dapat dituliskan beberapa tahun setelah kematiannya.


B.     al-Mahabbah al-Ilahiyah
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah adalah kecenderungan hati untuk mencintai Allah. Ada juga yang mengartikan mahabbah sebagai ketaatan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya serta ridha terhadap segala ketentuannya[7]. Harun Nasution menyebut pengertian mahabbah dalam terminologi sufisme sebagai berikut:
1.  Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.  Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.  Mengosongkan hati dari segala-sesuatu kecuali dari Tuhan.[8]
Jadi dapat dipahami bahwa hubb dalam terminologi mistisisme Islam (tasawuf) adalah kecenderungan hati seseorang (sûfi) untuk hanya cinta kepada Allah, mengosongkan bilik-bilik hatinya dari selain Allah, disertai ketaatan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Menurut Imam al-Ghazali, kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah fardhu yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil pasti.[9] Munculnya mahabbah ini diinspirasi oleh petunjuk-petunjuk al-Qur’an, antara lain QS al-Ma’idah: 54 dan QS Ali Imran: 30.
Kecintaan kepada Allah adalah tujuan yang tertinggi dari maqamat yang dilalui oleh para sufi.[10] Al-Kalabazi membagi mahabbah ini kepada dua macam, yaitu cinta yang hanya dalam pengakuan saja, dan cinta yang dihayati dan diresapi dalam hati keluar dari lubuk hati. Cinta yang pertama ada pada setiap manusia, sedang cinta yang kedua ditujukan hanya kepada Allah.[11]  Cinta yang seperti inilah yang dianut dan diamalkan oleh kaum sufi.
Menurut Margaret Smith, Rabi`ah dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi kala itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsepsi al-mahabbah atau al-hubb menurut Rabi`ah, akan ditelusuri pernyataannya tentang cinta[12].
Pada suatu waktu Rabi`ah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rabi`ah menjawab: Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.[13]
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang menanyakan cinta kepada Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab, bahwa: Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari delapan belas ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya.[14]
Dalam dialog lain, ada 2 (dua) batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka pertama, dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya. Lanjutnya kedua, dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang Pencipta. Tambahnya ketiga, dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawa-tirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.[15]
Pernyataan kedua, kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan hukuman, paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.[16]
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan 2 (dua) macam pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta tersebut, tertuang dalam lirik syairnya:
أحبك حبين حبّ الهوي        #       وحبًّا لأنك أهل لذاكا
فأما الذي هو حبّ الهوي      #       فشغلي بذكرك عمّن سواك
وأمّا الذي انت اهلٌ له         #       فكشفك لي الحجب حتّي أراكا
فلا الحمد في ذاأوذاك لي        #       ولكن لك الحمد في ذا وذاكا.

      “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu Adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu”.[17]
Pembagian cinta ini dinilai sebagai pelengkap keteladanan awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi karakteristik sufisme, yakni pengalihan sufisme dari pola hidup protes terhadap dominasi duniawi (kemewahan hidup ekonomi dan konflik politik), kepada suatu teori kemaujudan dan tatanan teosofi. Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim rohaniyah, maka dalam pembagian cinta, Rabi`ah-lah orang yang merintis untuk membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniyah.
Dialah pelopor yang memperkenalkan cita ajaran mistik dalam Islam. Dimaksud, terbukanya tabir penyekat alam ghaib, sehingga sang sufi akan bisa menyaksikan dan mengalami serta berhubungan langsung dengan dunia ghaib dan zat Allah. Kembali ke banyaknya pernyataan cinta Rabi`ah. Muncul pertanyaan, apakah muncul begitu saja, tanpa suatu proses? Dalam penelusuran Muhammad Atiyah Khamis, Rabi`ah telah memperluas beberapa makna ataupun lingkup cinta Ilahi.
Dulu Rabi`ah mencintai Allah sebagaimana lazimnya kebanyakan umat Islam, yaitu didorong karena mengharapkan surga Allah dan sebaliknya takut akan neraka-Nya. Ini ternyata jelas melalui pertanyaan doa Rabi`ah kepada Allah, yaitu … “O, Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hamba yang senantiasa takwa pada-Mu.[18]
Sesudah Rabi`ah menyadari bahwa landasan cinta seperti itu dianggap cinta yang masih sempit, Rabi`ah meningkatkan motivasi dirinya sehingga dia sampai luluh dalam cinta Ilahi. Artinya, dia mencintai Allah karena memang Allah patut untuk dicintai, bukan karena ketakutan terhadap neraka ataupun disebabkan mengharapkan surga-Nya. Ini terlihat, saat Rabi`ah sakit jama`ah menjenguk dan menanyakan keadaannya, dia menjawab, aku tak tahu penyebab penyakitku ini.                Demi Allah, diperlihatkan padaku surga, lalu aku tertarik untuk memilikinya. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku ini, lalu Dia mencelaku. Dia menghendaki agar aku kembali kepada-Nya dan menyadari kesalahanku. Jadi dia tidak ingin menjadi pekerja wanita yang tidak baik. Terus ada peningkatan lagi. Dia justru minta dibakar api neraka, jika menyembah Allah karena takut neraka dan sekaligus mengharamkan surga, kalau dia mengharapkan surga.
Atas dasar cinta dalam penyembahan Allah, dia berkata, limpahkanlah ganjaran yang lebih baik. Dia minta diberi kesempatan melihat wajah Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, hingga merasa bahagia berada dekat dengan Allah pada hari kebangkitan. Lantas perasaan bahagia itu diakhiri dengan bagiku (Rabi`ah) cukuplah keridlaan-Mu saja.
إلهى لو كنت أعبدك خوفا من نارك فأحرقني بنار جهنموإذا كنت أعبدك طمعا في جنتك فأحرمنيها وإما كنت أعبدك من أجل محبتك فلآ تحرمني من مشاهدة وجهك [19]

Wahai, Tuhan! Apabika aku beribadah kepada-Mu hanya karena takut kepada neraka-Mu maka bakarlah aku di neraka-Mu. Dan apabila aku beribadah kepada-Mu hanya menginginkan surga-Mu maka keluarkanlah aku dari surga-Mu. Tetapi, jika aku beribadah kepada-Mu hanya untuk-Mu semata, berikanlah kepadaku keindahan-Mu yang abadi .
Begitu tingginya kadar kecintaan Rabi`ah kepada Allah hingga pada gilirannya, dia menilai tidur itu tidak saja sebagai bagian dari rangkaian mata rantai ibadahnya, akan tetapi juga sekaligus sebagai musuhnya yang telah menyebabkan berkurangnya ibadah. Perhatikan petikan berikut ini:Wahai Tuhanku, semua manusia telah tidur nyenyak. Raja-raja telah mengunci pintu istana masing-masing. Suami istri telah berbaring di atas sofanya. Namun, Rabi`ah yang banyak dosa ini masih bersimpuh di hadapan-Mu. Kebesaran dan Kemuliaan-Mu-lah yang membuat aku terus berjaga malam begini.[20]
Begitu terpusatnya cinta Rabi`ah kepada Allah, pada gilirannya cinta bagi Rabi`ah hanya tertuju kepada-Nya. Cinta bagi Rabi`ah itu tenggelam dalam renungan mengenai Allah dan berpaling daripada segala makhluk, hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci terhadap musuh. Dalam pendalaman studi Margaret Smith, melalui telaah Tadzkirah al-Awliya’-nya Fariduddin al-Aththar, yaitu “Keberadaanku telah tiada dan jati diriku pun telah lenyap. Aku telah menjadi satu dengan-Nya”[21]
Dalam cinta sempurna seperti itu, ahli sufi tak ada lagi dan hilang diri. Aku menyatu dengan-Nya dan sekaligus milik-Nya., harapanku adalah penyatuan dengan-Nya, sebab itulah tujuan dari keinginanku.[22]




[1] Margareth Smith, “Rabi’ah The Mystic and Her fellow Saints in Islam” diterjemahkan oleh Jamilah Baraja dengan judul: Rabi’ah: Pergulatan Spritual Perempuan, (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7
[2] Karena kemiskinannya al-Attar, seorang penyair dari Parsi, mengemukakan bahwa pada malam ketika ia dilahirkan di rumahnya tidak ada makanan, tidak ada minyak untuk penerangan bahkan secarik kain untuk membungkusnyapun tidak ada. Oleh karena itu Ibu Rabi’ah mengatakan kepada suaminya agar ke rumah tetangganya untuk meminjam lampu buat penerangan dan kain, akan tetapi suaminya pulang dengan tangan hampa karena tetangga yang didatangi tidak berkenan untuk membuka pintunya. Lihat: Wahid Bakhsh Rabbani, Islamic Sufism, (5th Edition. 1st Publisher; Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1995), h. 322.
[3] Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 973.
[4] Abdul Mun`im Qandil, “Rabi’ah al-Adawiyah ‘Adarau al-Basrah al-Batul” terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000) h. 3-4
[5] A. J. Arberry, Sufism terj. Bambang Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan, Sya`ban 1405/Mei 1985), h.51
[6] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h. 63
[7] Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi, Al-Ma’rûf Li Mazhab Ahl al-Tasawwuf, di-tahqîq dan di-ta’lîq oleh Mahmud Amin al-Nawâwî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 131
[8] Harun Nasution, Falsafat …, op. cit., h. 70.
[9] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (selanjutnya disebut al-Gazali), Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz IV, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), h. 311.
[10] Ibid.
[11] Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi, loc. cit.
[12] Margaret Smith, op. cit., h. 107
[13] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.188
[14] Margaret Smith, op. cit., h.113
[15] Ibid., h.122
[16] Ibid., h. 123
[17] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), h.30
[18] Muhammad Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta;Pustaka Firdaus,2000) h.59
[19] Qamar Kailani, Fii at-Tashawwuf al-Islaam, (t.t.: Dar al-Ma`aarif, 1976) h. 89
[20] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.195
[21] Margaret Smith, op. cit., h.124
[22] Ibid.,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar