Rabu, 30 Mei 2012

DILEMA GERAKAN PEMURNIAN ISLAM

 Mutohharun Jinan
Pusat Studi Budaya Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102


Abstrak

Secara artifisial, gerakan pemurnian Islam berupaya melakukan pencarian terhadap kemurnian ajaran Islam. Terdapat dua tema pokok yang tampak dalam gerakan purifikasi itu: Pertama, sumber ajaran Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) menjadi obyek garapan yang sangat penting untuk dikembalikan sebagai rujukan utama dalam kehidupan beragama. Ini berarti bahwa kehidupan beragama semakin dekat menuju ke arah “established Islam” dari pada “popular Islam”. Kedua, semangat kebebasan individual untuk memanfaatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal ini mutlak diperlukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam. Dalam perkembangannya purifikasi ini tidak hanya ditujukan untuk menghilangkan tahayul, bid 'ah, dan khurafat. Upaya purifikasi dalam perkembangan Islam kontemporer terkait dengan berbagai wacana global, seperti terorisme, moderatisme, islamic local knowledge, dan gerakan fundamentalisme-radikal.

Kata kunci: Dilema, Pemurnian Islam, Doktrinal, Sosiologis, Kontemporer.

Pendahuluan
Kolonialisme Barat terhadap dunia Islam yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi tercabik-cabik. Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan mistik yang tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.
Situasi demikian meniscayakan umat Islam untuk mencari “sesuatu” sebagai tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan rasa aman. Sebagian besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam yang gemilang. Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah) telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh karena “sengaja dicuri” orang lain (Issa J. Boulatta, 2000: 19-20). Oleh karena itu, umat Islam memandang perlu mencari autentisitas Islam supaya umat Islam mendapatkan kembali keemasannya.
Di Indonesia gerakan-gerakan Islam puritan sering kali dinisbahkan pada gerakan Paderi di Sumatra pada awal abad ke-19 dan kemudian diikuti oleh trio pembaharu pada awal abad ke-20, yaitu Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Perbedaan penampilan dan sasaran garapan ketiga gerakan itu, tidak menghalangi kita untuk menarik suatu benang merah yang menjadi ciri utama dari gerakan-gerakan purifikasi. Benang merah itu ialah perlawanannya terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat yang koruptif dan menyimpang, serta seruannya untuk kembali kepada ajaran yang murni (Syafiq A. Mughni, 2001: 5).
Para puritan menampilkan tema-tema yang menjadi acuan gerakan purifikasi. Di antara tema-tema itu ialah: pertama, bahwa korupsi keagamaan (bid'ah) telah melanda umat sehingga agama yang mereka anut bukan merupakan Islam yang benar dan murni; kedua, korupsi itu mungkin terjadi akibat penyalahgunaan kekuasaan tokoh-tokoh agama atau akibat pengaruh-pengaruh non-Islam yang secara tidak sengaja mempengaruhi pikiran umat Islam; ketiga, sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari semua korupsi itu dengan jalan “kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah”; keempat, tipe ideal dari masyarakat yang dijadikan sebagai rujukan beragama secara murni ialah generasi salaf, yaitu mereka yang hidup pada abad-abad pertama Islam. Jadi generasi salaf itu dipandang sebagai umat terbaik sepanjang sejarah.
Makalah ini akan melihat bagaimana gerakan purifikasi dalam sejarah pemikiran Islam dan dampak yang ditimbulkan dari pencarian otentisitas itu. Untuk mencapai tujuan itu, terlebih dahulu dijelaskan akar-akar doktrinal dan sosiologis yang mendasari pencarian kemurnian Islam. Selanjutnya melihat dinamika gerakan purifikasi di Indonesia.

Akar Doktrinal dan Sosiologis
Gerakan pemurnian Islam merupakan fenomena penting dalam perkembangan pemikiran dan gerakan Islam. Ia seringkali muncul, tampaknya secara periodik, dalam situasi mana banyak terjadi penyimpangan baik dalam moral, pemahaman maupun pengalaman agama. Penyimpangan itu dipandang oleh para penganjur purifikasi sebagai kemerosotan agama dan masyarakat Islam, dan mereka menyatakan bahwa agar agama itu mencapai kejayaan, agama itu sendiri harus dibersihkan dari segala penyimpangan, pengaburan, dan pengotoran yang berjangkit di kalangan umat Islam.
Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar bagi kaum muslim dalam memburu kemurnian Islam (Robert D. Lee, 2000:26-29). Ayat al-Quran yang paling sering dikutip adalah “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam” (QS. 3: 19); “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu, dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS. 5: 15). Juga sebuah hadis yang sering dikemukakan adalah “Aku tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian memegangi keduanya (yakni) Al-Quran dan Sunnah Rasulullah”.
Harus diakui kerangka doktrinal tentang kesempurnaan Islam ini, berhadapan dengan realitas dan perkembangan sejarah yang sangat kompleks. Tuntutan sosiologis dan siklus krisis membuat kalangan kaum muslim meninggalkan atau setidaknya dianggap menjauh dari kerangka doktrinal kesempurnaan Islam. Proses menjauh dari cita-cita doktrinal dan normatif Islam ini tidak hanya muncul dalam gagasan dan tindakan yang jelas-jelas tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam, tetapi juga melalui penambahan-penambahan tertentu terhadap ajaran Islam. Penambahan-penambahan ini dikenal sebagai bid’ah. Yang dipandang sebagai tidak merupakan bagian autentik dari al-Quran dan Sunnah.
Karena itulah, pencarian kemurnian Islam melibatkan jargon “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul”, yang merupakan sumber paling autentik dari ajaran Islam. Khusus dalam bidang hadis, yang ternyata juga tercampur dengan hadis-hadis palsu, maka pencarian kemurnian Islam mengandung makna “menghidupkan kembali sunnah (ihya’ al-sunnah). Semua prinsip ini pada gilirannya menjadi dasar bagi pencarian kemurnian Islam yang memunculkan gagasan dan gerakan yang dikenal sebagai pembaharuan yang secara mitologis dan praktis menekankan pemurnian Islam (Azyumardi Azra, 2002:168).
Konteks doktrinal pencarian Islam murni tersebut haruslah dilengkapi dengan konteks historis kalangan umat Islam sendiri. Gagasan Islam murni secara historis dikaitkan dengan ekspresi dan aktualisasi Islam pada masa Nabi Muhammad sendiri dan para sahabat yang juga sering disebut masyarakat atau kaum salaf. Dalam pandangan Islam murni, kehidupan pada masa Nabi, di Madinah khususnya, dan yang kemudian dilanjutkan para sahabatnya merupakan bentuk Islam yang paling murni, yang belum tercampur intervensi ijtihad dan pengaruh sosiologis. Inilah aktualisasi Islam paling ideal yang harus diwujudkan pada masa selajutnya termasuk dalam masa modern dan kontemporer. Gagasan demikian kemudian memunculkan paham yang lazim disebut salafisme atau puritanisme.
Sejarah Islam mengenal gerakan-gerakan sejarah yang muncul dalam rangka purifikasi agama. Yang pertama kali ialah gerakan Hanbali yang dipelopori oleh Abu Muhammad al-Barbahari. Dengan kata lain, ia dipandang sebagai pelopor gerakan puritan pertama dalam sejarah Islam. Situasi masyarakat Islam pada saat itu ditandai dengan beberapa penyimpangan. Pertama, penyimpangan aqidah telah melanda umat Islam karena pengaruh filsafat Yunani yang kemudian muncul dalam masyarakat Islam dalam bentuk Ilmu Kalam dan Falsafah. Penyimpangan macam ini dilakukan oleh aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kedua, bid’ah dan khurafat juga menjamur di kalangan umat Islam, sehingga timbul upacara-upacara ritual yang tidak berpangkal pada ajaran Allah dan Nabi. Penyimpangan seperti ini dilakukan oleh Syi'ah. Al-Barbahari dan gerakan Hanbalinya pada awal abad ke-10 menyerukan perlawanan terhadap penyimpangan itu dengan cara kembali kepada aqidah salaf.
Gerakan purifikasi kedua juga timbul di kalangan masyarakat Hanbali, yaitu gerakan Ibnu Taimiyyah di Damaskus pada abad ke-14. Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik. Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali kepada tauhid” (Nurcholish Madjid, 1997: 157).
Berikutnya, dari gerakan purifikasi ialah gerakan Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab pada awal abad ke-19. Ini juga gerakan yang tumbuh di kalangan madzhab Hanbali di Arabia. Kepercayaan umat Islam telah banyak diwarnai dengan syirik, bid'ah, dan khurafat sehingga mereka menjadi jauh dari ajaran Islam yang benar. Ibn 'Abd al-Wahhab ingin mengikis itu semua. Ia banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyyah, dan gerakannya memberikan gaung yang besar karena dukungan politis dari dinasti Saudi.
Dalam perjalanan sejarahnya Islam telah membantu para penganutnya untuk memahami realitas yang pada gilirannya mewujudkan pola-pola pandangan dunia tertentu. Pola-pola pandangan yang mendunia dalam pranata sosial dan kebudayaan itu turut mempengaruhi perkembangan dunia. Dalam konteks ini, Islam berperan sebagai subjek yang turut menentukan perjalanan sejarah. Tetapi kelebihan pranata-pranata duniawi, karena keharusan sejarah juga memaksakan perubahan dan akomodasi terus-menerus terhadap pandangan dunia yang bersumber dari Islam (Azyumardi Azra, 2002: 171). Di sini sering terdapat semacam “ketegangan teologis” antara keharusan memegangi doktrin dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut.
Kenyataan tersebut turut mewarnai panorama pencarian kemurnian Islam yang pada dasarnya dapat disebut juga sebagai upaya aktualisasi Islam melalui apa yang disebut sebagai “pembaharuan” sepanjang sejarah. Ini terlihat dari, misalnya, dikhotomi: modernis-revivalis dan moderat-fundamentalis. Pembelahan semacam ini jelas bukan sekadar tipologi, tetapi lebih jauh lagi berakar pada posisi masing-masing dalam menghadapi “ketegangan teologis” tadi, yang pada gilirannya membentuk pandangan dan sikap masing-masing dalam pemberian respons dan jawaban untuk upaya aktualisasi.
          Dalam perspektif sosiologis, ketegangan teologis yang berdampak pada pembelahan umat Islam tersebut merupakan perwujudan sekaligus pengukuhan pencarian kemurnian Islam. Dalam ranah sosiologis ini, tampak sejumlah krisis dan kegagalan umat Islam dalam menghadapi berbagai tantangan modernitas. Kekalahan dari Barat sejak periode akhir Turki Usmani disambung dengan imperialisme Barat terhadap negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim telah menyadarkan umat Islam atas ketertinggalannya. Selanjutnya, di kalangan umat Islam muncul kelompok-kelompok intelektual dan gerakan-gerakan dengan sikap yang sangat beragam dalam rangka menyikapi ketertinggalan itu (Boisard, 1986: 311-320).
          Bersamaan dengan krisis, kegagalan dan ketertinggalan atas dunia Barat yang kian menguat, kesadaran atas pencarian kemurnian pun mencuat dan para intelektual muslim terlibat dalam perbincangan. Mereka mulai realistis melihat kenyataan bahwa mereka belum bisa keluar dari kebekuan - atau meraih kemajuan yang cukup berarti- meskipun juga telah diadakan upaya-upaya modernisasi, sebagaimana yang terjadi di Turki (Taha Jabir al-Alwani, 1995: 1-10). Adopsi terhadap konsep pembangunan dari Barat juga tidak mampu memecah kebekuan kemunduran di dunia Islam. Negara-negara muslim di kawasan Asia dan Afrika tetap saja tidak beranjak dari keterbelakangan, bahkan semakin hari semakin besar hutang yang ditanggungnya.
          Kegagalan yang nyaris sempurna dalam berbagai aspek kehidupan yang menimpa kaum muslim ini kemudian, di satu sisi, melahirkan sikap curiga terhadap kultur Barat yang tidak cocok dengan kultur Islam, dan di sisi lain, juga mendorong tumbuhnya sikap apologetik di kalangan umat Islam. Sikap anti Barat ditunjukkan dengan penolakan atas segala isu dan konsep yang berasal dari Barat, semacam HAM dan demokrasi. Dalam waktu bersamaan sikap apologetik ditunjukkan dengan kembali kepada teks ajaran Islam yang telah sempurna mengatur segala aspek kehidupan.
          Walaupun demikian, gerakan penolakan Barat atas nama kemurnian bukan berarti mempertahankan kemapanan. Gerakan kemurnian Islam tetap berpendirian bahwa perubahan merupakan hukum alam, dunia harus berubah dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis. Pencarian kemurnian mengandaikan inovasi dan kreativitas membangun formula yang tepat untuk lebih baik yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (Robert D. Lee, 2000: 14).
Implikasi Kultural Gerakan Pemurnian
Setiap masyarakat akan terus berkembang, dan ke mana arahnya akan ditentukan oleh banyak faktor yang saling tarik-menarik. Dari tarik-menarik dialektis itu akan muncul masyarakat baru. Kalau kita mencoba untuk mempertemukan teori ini dengan teori siklikal (cyclical), maka masyarakat baru itu bisa saja merupakan pengulangan dari yang telah ada. Bukankah perbedaan teori sosial itu seringkali hanya karena perbedaan sudut pandang saja terhadap hakekat yang sama. Sementara teori dialektika menekankan munculnya unsur-unsur baru dalam proses perkembangan masyarakat, sedang siklikal menekankan unsur-unsur ulangan.
Terlepas dari kontroversi filsafat atau teori sosial itu, tampaknya ada semacam keajegan dalam proses perkembangan masyarakat dilihat dari sudut munculnya gerakan-gerakan purifikasi itu. Keajegan itu menyatakan bahwa masyarakat yang diwarnai dengan pengalaman dan pemahaman agama yang “akomodatif” terhadap budaya lokal maupun asing akan memunculkan sebuah gerakan “puritan”. Jika gerakan yang terakhir itu mendapatkan tempat di masyarakat, maka akan muncul pemahaman dan pengalaman agama yang “formalistis”. Selanjutnya “formalisme” itu akan membawa kekeringan penghayatan keagamaan, dan pada akhirnya masyarakat memerlukan sebuah gerakan yang lebih liberal-spiritualistik. Ini berarti memberikan keleluasaan kepada individu Muslim untuk menghayati agama yang tidak bisa dikontrol oleh “established religion”. Pada tahap ini “heterodoksi” akan berkembang akibat dari sikap “akomodatif” terhadap budaya lokal maupun asing itu. Jika keadaan itu berlangsung, akan muncul lagi gerakan “puritan” untuk melakukan kritik terhadap liberalisme agama yang dipandang cukup eksesif (Syafiq A. Mughni, 2001: 8).
Proses tersebut di atas terlihat pada perkembangan masyarakat Islam di Indonesia. Abad-abad pertama perjalanan Islam menunjukkan sifatnya yang akomodatif terhadap budaya lokal. Hal ini terjadi akibat kebijakan para pembawa Islam yang cenderung meneruskan budaya lokal tetapi dengan ruh baru Islam. Yang terjadi kemudian ialah tetap bertahannya ruh budaya lama bergandengan bersama-sama dengan ruh baru. Dalam proses selanjutnya timbul gerakan yang menyatakan itu sebagai penyimpangan, dan dengan demikian memerlukan purifikasi. Gerakan purifikasi ini ditampilkan oleh Paderi di Sumatera, Muhammadiyah, Persia, dan Al-Irsyad di Jawa, yang bukan saja ingin mendobrak ruh tetapi juga bentuk budaya lokal (James L. Peacock, 1978: 33). Setelah hampir seabad gerakan-gerakan itu berlangsung, muncul satu kelompok yang mempertanyakan kembali relevansi dari jargon-jargon purifikasi itu, misalnya tentang makna; “kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah”, serta “bid’ah, ijtihad dan taqlid”. Kritik terhadap dampak purifikasi itu ingin memunculkan warna “spiritualisme” dari agama secara lebih tegas sebagai antisipasi terhadap krisis yang akan dialami oleh masyarakat modern-industrial. Jika pilihan baru itu diterima, akan lahir kembali kecenderungan “akomodatif” yang tidak lagi menekankan formalisme dalam kehidupan. Memang jelas bahwa “formalisme” itu bukan merupakan tujuan dari gerakan purifikasi itu sendiri tetapi merupakan ekses yang bisa timbul secara tidak sengaja (James, 1978: 2).
Sikap “akomodatif” yang dianut oleh masyarakat Islam akan mengesahkan kembali liberalisme dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Cara penafsiran liberalis yang cenderung dianut oleh gerakan-gerakan purifikasi digugat kembali karena dipandang menjadi belenggu bagi rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Gerakan baru itu akan menyatakan bahwa liberalisasi penafsiran Islam dengan semangat akomodatif diperlukan agar Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, gerakan purifikasi telah memberikan sumbangan signifikan baik dalam proses reorientasi faham keagamaan maupun dinamisasi Islam. Sebab setiap gerakan purifikasi mengandung makna usaha agar agama itu menjadi fungsional dalam sebuah masyarakat yang mengalami kebekuan sebagai akibat jangka panjang dari sikap akomodatif. Oleh karena itu, setiap purifikasi juga memiliki jargon “membuka kembali pintu ijtihad”. Memang timbul suatu kesan bahwa di dalam gerakan purifikasi terdapat dua tema yang tampak kontradiktif, yaitu kembali “kepada Al-Qur'an dan Sunnah” dan “membuka kembali pintu ijtihad”. Kesan itu timbul sebenarnya sebagai akibat kenyataan bahwa tema pertama itu diartikan sebagai “literalisme” atau memberikan makna harfiah terhadap setiap teks Al-Qur'an atau Sunnah. Tetapi jika tema itu diartikan sebagai reorientasi pemahaman agama kepada sumber aslinya, maka kesan kontradiksi itu akan menjadi hilang. Dengan demikian usaha penggalian kembali makna ajaran Islam itu sangat kompatibel dengan seruan untuk membuka pintu ijtihad. Di sini pulalah letak arti pernyataan di atas bahwa setiap usaha purifikasi sebenarnya mengandung makna dinamisasi (Amin Abdullah, 2000:38).
Dengan dua tema pokok gerakan purifikasi itu, ada dua hal yang tampak sebagai dampak dari gerakan itu. Pertama, ialah bahwa sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Sunnah, menjadi obyek garapan yang sangat penting untuk dikembalikan sebagai rujukan utama dalam kehidupan beragama. Ini berarti bahwa kehidupan beragama semakin dekat menuju ke arah “established Islam” dari pada “popular Islam”. Kedua, ialah bahwa semangat kebebasan individual untuk memanfaatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal ini mutlak diperlukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam. Kebebasan individual untuk memahami ajaran Islam itu sebenarnya adalah inti dari ijtihad, sebagai lawan dari taqlid.
Gerakan purifikasi di Indonesia juga memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam merosotnya otoritas ulama. Kebebasan individual untuk berijtihad menyebabkan hilangnya kendala psikologis maupun teologis untuk menggali secara bebas sumber-sumber ajaran Islam. Merosotnya otoritas ulama itu tampak dalam gejala-gejala sebagai berikut: (1) Sekalipun terus bertumbuhnya ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk agama, ada kesan bahwa ulama dalam pengertian tradisional di kalangan gerakan puritan semakin langka. Jika ada keluhan langkanya kyai di kalangan gerakan puritan, sebenarnya itu merupakan konsekuensi dari kebebasan individual tersebut di atas. Tampaknya masyarakat puritan terlalu mahal untuk memberikan gelar kyai kepada ilmuwan agama di kalangan mereka sendiri; (2) ikatan antara tokoh agama dan massa menjadi longgar dan lebih bersifat impersonal-rasional. Dengan kata lain, hubungan antar mereka lebih bersifat kontraktual dan demokratis.
Di Indonesia relevansi usaha purifikasi ajaran Islam berkaitan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara kasar kita bisa membagi masyarakat Indonesia menjadi dua tingkat, yaitu masyarakat kota yang pada umumnya telah terkena arus modernisasi dan masyarakat desa yang masih tradisional. Masing-masing tingkat masyarakat itu mempunyai persoalannya sendiri, dan karena itu memerlukan pendekatan purifikasi yang berbeda. Purifikasi di sini sebenarnya bisa saja tetap bertemakan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, tetapi harus menggunakan pendekatan yang spesifik untuk masyarakat tertentu. Pendekatan al-Barbahari mungkin cocok untuk masyarakat yang serba rationalized, sedangkan pendekatan Ibn Taimiyah mungkin cocok untuk masyarakat yang serba spiritualized. Kedua masyarakat itu terdapat di perkotaan. Di lain pihak, pendekatan Wahhabi barangkali cocok untuk masyarakat yang serba mythical di daerah pedesaan.

Gerakan Pemurnian Islam Kontemporer
Gerakan-gerakan purifikasi di masa lalu ditujukan untuk melawan tiga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pertama, ialah rasionalisme Mu'tazilah yang dipandang sebagai aliran yang mengaburkan simplisitas ajaran teologi Islam. Gerakan al-Barbahari pada awal abad ke-10 dengan jelas mewakili usaha purifikasi semacam itu. Kedua, ialah antinomianisme dan spekulatifisme dari gerakan tasawuf. Gerakan purifikasi Ibn Taimiyah menggambarkan perlawanan terhadap kecenderungan itu. Ketiga, ialah berkembangnya syirik dan khurafat yang melawan konsep tawhid. Perlawanan terhadap kecenderungan ini dilakukan oleh Gerakan Wahhabi.
          Selanjutnya bagaimana gerakan purifikasi di dunia kontemporer saat ini? Robert D. Lee telah menemukan empat model pencarian kemurnian Islam kontemporer. Ini tentu merupakan sumbangan yang amat berharga dalam upaya melihat wacana Islam autentik. Menurut Lee muara pencarian kemurnian Islam bisa dibedakan kedalam empat tipe: filosofis (Iqbal), radikalisme (Quthub), revolusioner (Syari’ati) dan rasional-kritis (Arkoun).
Akan tetapi studi terhadap masalah penting ini bila hanya berhenti pada keempat tokoh dan mengabaikan tokoh lain tentu merupakan upaya simplifikasi yang dapat menimbulkan bias. Lebih-lebih isu yang diangkat Lee dalam buku itu murni mengedepankan aspek sosiologis semata dan sikap umat Islam terhadap dunia Barat.
          Perkembangan pencarian kemurnian Islam selain empat tipe tersebut juga mewujud dalam gerakan salafisme moderat. Gerakan ini boleh dibilang sebagai gerakan Islam yang sangat moderat dan bersahaja. Sebagai misal gerakan Islam Jamaah Tabligh. Gerakan yang belakangan cukup berpengaruh dan menyebar ke seluruh benua ini, mengedepankan pemahaman keislaman yang tidak berbelit, jauh dari nuansa radikalisme-politis, tidak memerlukan budaya kritis apalagi sampai pada penalaran filosofis.
Dakwah mereka lakukan dengan cara persuasif, berpindah dari tempat satu ke tempat lain, dengan tampilan fisik yang sederhana sebagaimana pakaian para sahabat salafi. Meskipun tidak fenomenal dan mendapat perhatian media internasional metode gerakannya mendapat simpati mulai dari kalangan miskin-desa sampai pada kalangan elit-urban (Ahmad Baso dkk, 2003).
Wacana global fundamentalisme juga acap kali dikaitkan dengan pencarian kemurnian Islam. Setidaknya, inilah yang dilakukan oleh Khaled Abou El-Fadl, seorang intelektual muslim dan akademisi dari UCLA Amerika. Dalam buku And God Knows The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001), Fadl menyajikan sebuah contoh kasus bagaimana pergerakan fundamentalisme otoritarian mewabah di Amerika. Fadl terhenyak mendengar salah seorang pebasket muslim tidak mau berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika dinyanyikan. Mahmoud Abdul Rauf (si pebasket) melakukan demikian karena ada fatwa tentang hal itu yang dikeluarkan oleh komunitas pembela sunnah (Khaled M Abou El Fadl, 2003).
          Menurut Fadl, produk fatwa tersebut merefleksikan sejumlah gagasan dasar atas sokongan ideologi puritan yang berakar pada paham salafisme dan wahabisme. Tetapi sialnya kelompok ini tidak berminat untuk mereguk kekayaan peninggalan peradaban Islam masa lalu sambil memandang sebelah mata terhadap orientasi rasional intelektualisme kritis. Ada kesan penentangan yang cukup kuat terhadap Barat, tetapi di sisi lain mereka juga lekat dengan cara-cara berpikir yang tersegmentasi, mengabaikan penelaahan kualitas-kualitas kemanusiaan yang mendasar, serta mencampakkan perspektif historisitas ajaran agama (El Fadl, 2003: 29).
          Sikap puritan umat Islam yang berbasis teologi Wahabisme secara mendasar bukan hanya tidak sesuai dengan jalan hidup peradaban Barat melainkan juga dengan pijakan gagasan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Mereka menampilkan ketertutupan yang tidak toleran dan sikap bermusuhan terhadap yang lain (El Fadl, 2003: 25). Pencarian Islam autentik juga mempunyai orientasi idelogis dan menuntut partikularisme normatif yang secara mendasar berpusat pada teks, tanpa penelaahan secara memadai. Karena itu, Fadl seolah hendak mendesakkan agar pemaknaan hukum Islam terhadap suatu hadis meminjam metodologi hermeneutika (El Fadl, 2003: 95).
Fadl juga menyarankan agar senantiasa mengaitkan hukum dan moralitas. Pencarian kemurnian Islam lebih diwarnai oleh pemahaman bahwa teks sebagai sumber otoritas yang secara positivistik mengakui logika tekstual sebagai hukum tertinggi. Pada hal bagi Fadl moralitas tidak membutuhkan otoritas tekstual untuk dapat diterapkan. Moral adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia. Karena itu, hukum-hukum moral tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan juga perlu dikaji mendalam untuk menjadi pemandu supaya agama tetap dapat dibentangkan pada realitas kehidupan yang terus berubah. Pendekatan ini, sekali lagi, mendesakkan perumusan hermeneutika hadis, mendahulukan analisis matan hadis dan logika substantif dari pada analisis sanad dalam ilmu hadis.
Fundemantalisme-radikal yang belakangan menyeruak ke permukaan wacana global salah satunya diilhami oleh keketatan paradigma Islam autentik yang kurang mamperhatikan pendekatan moral. Sebaliknya paradigma Islam autentik tersemayami oleh semangat yang berorientasi dominasi kultural dan politis (El Fadl, 2003: 27).
Dalam konteks analisis Fadl ini, amat menarik mencermati munculnya gerakan fundamentalisme-radikal Islam yang cukup menonjol di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kepemimpinan puncak kelompok seperti Laskar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI), dan lain-lain. Pemimpin utama LJ adalah Ja'far Umar Thalib; FPI adalah Habib Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar Ba'asyir, JAMI adalah Al-Habshi (Khamami Zada, 2002: 6-7).
Mengamati pemahaman Islam, wacana dan praksis yang mereka kembangkan, maka secara singkat kelompok-kelompok ini dapat dikategorikan sebagai kelompok “salafi radikal”, yang berorientasi kepada penegakan dan pengamalan “Islam yang murni”, “Islam autentik” yang dipraktekkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Mereka disebut sebagai “salafi radikal” karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif (Azyumardi Azra, 2002).
Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-kelompok seperti ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini karena secara historis dan sosiologis, terdapat warga keturunan Arab yang memandang bahwa diri mereka -- sebagai keturunan Arab -- memiliki tugas suci untuk “memurnikan Islam Indonesia” dan membawanya menjadi “Islam murni”, “Islam autentik” sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di tanah Arab. Islam Indonesia dipandang sebagai “Islam tidak murni” yang telah tercampur dengan kepercayaan dan praktek keagamaan lokal (Talal Asad, 1986: 21-22).
Selain itu, jaringan ulama Indonesia-Arab melalui ibadah haji, sekembalinya dari Mekah, cenderung menolak bentuk-bentuk Islam lokal yang ada di Indonesia, kemudian mengajarkan Islam yang ”lebih murni” sebagaimana yang dipelajari di Arab. Reformasi Islam telah mengalami perubahan selama berabad-abad, dan tiap-tiap generasi dari Hijaz muncul orang-orang baru yang membawa gelombang perubahan. Di antara mereka ada yang berusaha untuk membawa keyakinan dan praktek dari umat Islam Indonesia lebih sesuai dengan orang-orang Islam Arab, khususnya mereka yang berada di kota-kota suci, yang agamanya dianggap murni dan otentik.
Kepemimpinan warga keturunan Arab dengan orientasi “salafi radikal”, percaya bisa lebih efektif dalam usaha mewujudkan agenda-agenda mereka. Karena tema-tema wacana dan praksis yang mereka angkat cukup kontekstual dengan situasi sosial-budaya dan politik Indonesia, maupun dengan situasi politik internasional maka kelompok-kelompok dan gerakan mereka dengan segera mendapatkan keanggotaan yang tidak terbatas pada warga keturunan Arab, tetapi juga mencakup Muslim pribumi.
Meningkatnya pencarian “kemurnian Islam” di kalangan masyarakat Indonesia umumnya dalam dua dasawarsa terakhir ini membuat kelompok-kelompok “salafi radikal” tadi menjadi alternatif menarik bagi sebagian orang yang tengah mencari “Islam autentik” tersebut.

Dilema Islam Puritan: Antara Globalitas dan Lokalitas
Dari uraian di atas dapat dikemukakan pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gemilang di masa lalu. Baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, maka seakan tak ada lagi ruang bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan inovasi. Yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan kembali pada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan.
Kuatnya memory of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia tersendiri. Dan sangat bisa jadi orang Barat, misalnya, juga memiliki perasaan serupa, bahwa mereka memiliki  dunia sendiri  yang lain dan yang lain. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang ada hari ini. Agama-agama dan budaya lokal yang  pada mulanya tumbuh secara isolatif, sekarang mau tidak mau harus berinteraksi dengan yang lain ketika pluralitas agama dan budaya tak bisa lagi dibendung (Komaruddin Hidayat, 2003: 31).
Berbagai klaim eksklusifisme agama dan budaya sulit dipertahankan, bahkan gagasan nasionalisme klasik yang muncul oleh antagonisme politik sekarang bergeser menjadi nasionalisme kosmopolitan. Bahwa  kehidupan  sebuah bangsa bukan  lagi  dikawal dengan kekuatan senjata, melainkan dengan kemitraan dengan bangsa lain. Ke dalam, yang dilakukan bukan lagi mobilisasi massa untuk berperang melainkan memberi ruang partisipasi publik selebar mungkin untuk bersama-sama membangun peradaban.
Islam memiliki potensi globalitas maupun lokalitas. Secara normatif-teologis, Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam sebagai “rahmatan lil- 'alamin” (QS. Al Anbiya: 107), merupakan pernyataan simbolik dari dimensi globalitas Islam, sementara di ayat yang lain Al-Qur’an mengakui adanya pluralitas-lokalitas-kesukuan (etnisitas) maupun kebangsaan (nasionalitas) (QS. Al-Hujurat:13). Wajah Islam berdimensi universal sekaligus partikular (lokal dan temporal). Berarti secara normatif-teologis pada hakikatnya tidak ada problem ketika Islam harus berdialektika dengan paradigma paradoksal di atas (kecenderungan global sekaligus lokal). Hanya saja yang menjadi persoalan di sini adalah: sejauh mana batas wilayah keberagamaan Islam yang bersifat global (universal) serta lokal dan temporal itu? Di sini bisa saja muncul pandangan yang kontroversial di kalangan umat. Tetapi yang pasti, di dalam Islam, peluang untuk membangun etika lebih-lebih berwajah lokal sangatlah dimungkinkan. Tafsiran tentang ini bisa bersifat plural tentunya, tergantung pada ruang historis yang berkembang maupun para perumus etika Islam itu sendiri. Toh setiap ruang dan zaman pasti memiliki pola pemikiran yang berbeda pula (Islam shalihun li kulli zaman wa makan).
Maka di era globalisasi sekarang ini dibarengi dengan munculnya berbagai kecenderungan lokalitas yang ada, umat dituntut untuk terus berijtihad—oleh Dr. Iqbal dinyatakan bahwa ijtihad merupakan “prinsip gerak dalam struktur pemikiran Islam” [the principle of movement in the structure of Islam]—secara maksimal dengan mengerahkan berbagai potensialitas yang dimiliki (Mohammad Iqbal, 1986: 146). Dalam konteks ini, norma-norma Islam yang universal barangkali tidak terlalu banyak dipermasalahkan, karena secara normatif telah banyak tersedia di dalam kitab suci maupun hadis Nabi serta khazanah ulama klasik lainnya. Yang menjadi sangat problematis saat ini adalah dimensi etika Islam yang berwajah lokal yang harus dirumuskan oleh para ahli, baik etika lokal yang terkait dengan wilayah aqidah agar tidak terjebak dengan sinkretisme maupun wilayah fiqh dalam arti luas, yakni fiqh lingkungan, fiqh seni, kebudayaan, dan peradaban, fiqh kelautan, dan lain-lain.
Robert N. Bellah mengungkapkan betapa Islam—melalui Muhammad SAW—telah  terbukti sukses—bahkan  too modern to succeed—membangun peradaban yang justru dimulai dari tengah-tengah padang pasir yang tandus dan gersang serta dari kerumunan tribal  society  di  tengah  pluralitas  masyarakat  Mekkah  di  zamannya.  Kesuksesan Muhammad tidaklah diukur dari kualitas yang dicapainya, lebih dari itu adalah tingkat kualitas moral peradaban yang diwariskannya (Robert N. Bellah, 1976: 50-51).
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak sekali warisan peradaban yang pada hakikatnya tidak murni dari “warisan dalam” Islam. Tetapi, sebaliknya, justru banyak mengadopsi dari “warisan luar” Islam sebagai salah satu contoh, bentuk menara mesjid yang kini menjadi ciri umum bangunan mesjid di seluruh dunia Islam merupakan salah satu bukti hasil interaksi Islam dengan kekayaan budaya lokal (Nurcholish Madjid, 1992: 445).
Ini berarti bahwa dalam perjalanan historisitasnya, Islam tetap bisa bersinergi dengan kekayaan peradaban dunia sepanjang secara teologis tidak lari dari komitmen imani sebagaimana yang telah digariskan oleh Islam. Untuk zaman ini bahkan di masa-masa mendatang, agama Islam bersama agama atau paham lain bisa menjalin bahkan ‘menyatu’  dalam  memperkaya  mozaik  warisan  kultural  dunia  sehingga  dimensi ketunggalan rasa kemanusiaan, etika dan estetika menjadi media keharmonisan interaktif dan dialektik antar hubungan sesama umat manusia di dunia.
Pandangan lokalisasi Islam ini merupakan pemikiran lanjut dari empirisme Islam. Menurut Iqbal, secara normatif, Al-Qur’an lebih mementingkan tindakan nyata (deed) ketimbang semata-mata gagasan idealistik rasionalistik (Mohammad Iqbal, 1986: IV). Kelemahan para pemikir Islam klasik lanjut Iqbal, karena mereka memaksakan logika deduktif Yunani dalam memahami Al-Qur’an, sehingga berakibat pada kekaburan pemahaman. Pandangan tokoh Islam yang berwawasan empirik di atas paling tidak dapat dijadikan acuan tentang pentingnya pembumian ajaran Islam (Amin Abdullah, 2003: 20).
Pada dataran empiris, sesuai dengan fenomena dan tantangan multikultural yang ada, yang menjadi problem buat kita adalah, bagaimanakah upaya lokalisasi  dan kulturalisasi Islam sehingga kelak mampu menjadi media perekat sosial pada tingkat wacana lokal tanpa harus mereduksi dimensi universalitas Islam itu sendiri. Sedangkan dalam perspektif kultural—dalam  arti seni budaya—bahwa sepanjang dapat “mempertahankan” universalitas Islam, maka seni budaya sebagai upaya apresiasi khazanah lokal menjadi dibolehkan.
Penutup
Usaha purifikasi yang biasa disebut sebagai gerakan tajdid, ishlah, atau salaf akan muncul dalam masyarakat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Gerakan purifikasi dengan semboyan “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” bisa berarti mengingatkan pentingnya aspek sufistik dari formalisme ritual dan hedonisme material. Usaha purifikasi itu tidak hanya ditujukan untuk menghilangkan bid 'ah dan khurafat.
Gerakan pencarian kemurnian Islam telah menjadi perhatian para pemikir Muslim di berbagai kawasan Islam. Secara artifisial para pemikir sama-sama melakukan pencarian kemurnian. Gerakan ini telah telah menuai hasil kemajuan di berbagai bidang kehidupan umat Islam. Antara lain menguatnya kesadaran akan pentingnya pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam.
Di sisi lain, proyek pemurnian Islam mengandaikan pandangan dunia bahwa Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden, baku dan tak berubah. Karena itu seluruh bangunan tekstualnya mesti merujuk pada sendi-sendi dasar yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah (apa yang pernah diajarkan Nabi SAW di Makkah dan Madinah sebagai basis geografis lahirnya Islam).
Purifikasi juga meniscayakan ketundukan kepada teks al-Quran dan Hadis dan pengalaman masa lalu dalam bentuknya yang tekstual pada ranah sosial-politik. Sebab pesan transenden al-Quran dan Sunnah dianggap tidak bersentuhan sama sekali dengan budaya manusia. Dalam perkembangan Islam kontemporer upaya pencarian kemurnian Islam terkait dengan berbagai wacana global, seperti terorisme, moderatisme, islamic local knowledge, dan gerakan fundamentalisme-radikal.
Kaum Muslim agaknya tidak akan berhenti dalam pencarian otentisitas ini dan akan selalu dikaitkan dengan wacana yang mereka gumuli. Pencarian kemurnian (al-ashalah) Islam, meminjam istilah Marshal G. Hodgson, merupakan the perennial venture, pengembaraan abadi di kalangan Muslim. Toynbee sangat memahami kerja keras kaum muslim dalam pencarian itu, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut:
“Sekarang dalam sebuah dunia di mana jarak  telah “dibinasakan” oleh kemajuan teknologi Barat..., tradisi Islam tentang persaudaraan umat manusia tampaknya merupakan suatu cita-cita yang lebih baik demi memenuhi keperluan sosial zaman dari pada tradisi Barat mengenai kemerdekaan yang berdaulat dalam sejumlah nasionalitas yang terbelah” (Arnold J. Toynbee, 1963: 254).





Daftar Pustaka
Abdulllah, Amin. 2002. "Respons Kreatif Muhammadiyah Dalam Menghadapi Dinamika Kontemporer", dalam M. Toyyibi (ed.), Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Solo: Muhammadiyah University Press.

________. 2000. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer. Bandung: Mizan.

Baso, Ahmad dkk. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga.

Al-Alwani, Taha Jabir. 1995. Krisis Pemikiran Islam Modern. Selangor: The International Institute of Islamic Thought.

Asad, Talal. 1986. The Idea of an Anthropology of Islam. Washington: CCSA.

Azra, Azyumardi. 2002. "Radikalisasi Salafi Radikal". Tempo, Desember.

_______. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Bellah, Robert N. 1976. Beyond Belief, Essay on Religion in a Post-Tradisional Word. New York: Harper and Row.

Boisard, Marcel A. 1986. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Boulatta, Issa J. 2000. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. Terj, Imam Khoiri. Yogyakarta: LkiS.

El-Fadl, Khaled Abou. 2003. Cita dan Fakta Toleransi Islam, Puritanisme Versus Pluralisme. Terj. Eka Prasetya. Bandung: Mizan.

________. 2003. Melawan Tentara Tuhan. Jakarta: Serambi.

Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan.

Hidayat, Komaruddin. 2003. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina.

Iqbal, Mohammad. 1982. The Recontruction of Relegius Thought in Islam. Ashraf: Lahore.

L. Peacock, James. Muslim Puritans: Reformis Psycology in South East Asian Islam. Barkeley: University of California Press.

________. 1978. Purifiying the Faith: Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam. California: Cumming Publishing.

Lee, Robert D. 2000. Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
________. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina.

Mughni, Syafiq A. 2001. Nilai-nilai Islam: Rumusan, Ajaran, dan Aktualisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tashwirul Afkar No. 14 Thun 2003.

Tonybee, Arnold J. 1963. Civilization on Trial an the World and the West. Cleveland and New York: The World Publishing Company.

Zada, Khamami. 2002. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju.







2 komentar: