DAMPAK
GLOBALISASI TERHADAP PERADABAN ISLAM
OLEH
IMMAWAN
IMRAN TRI KERWIYADI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Semoga Allah yang Mahamulia senantiasa
melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita, sehingga kita bukan saja menjadi hamba yang
mulia, tetapi juga diridhai-Nya. Shalawat dan salam teruntuk Baginda Nabi
Muhammad SAW. Beliaulah panutan kita yang paling hak di bumi ini.
Tak
lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini, terutama kepada teman-teman
immawan&immawati serta kakak-kakak yang selalu memberikan bimbingan dan
arahan demi tercapainya hasil yang maksimal.
Andai
penulis telah melakukan kebenaran, maka sesungguhnya itu datangnya dari Allah
dan andai penulis melakukan kesalahan maka itu datangnya dari penulis sendiri,
dan semoga Allah memaafkannya.
Makassar 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………….
BAB
I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan
Masalah ………………………………………………………….
3. Tujuan
Penulisan …………………………………………………………..
BAB
II PEMBAHASAN
1. Globalisasi
………………………………………………………………...
2. Peradaban
Islam
2.1 Perbandingan
Peradaban Islam dan Eropa abad Pertengahan ………...
3. Dampak
Globalisasi Terhadap Islam ………………………………….......
BAB
III PENUTUP
1.
Kesimpulan…………………………………………………………………
2.
Saran ……………………………………………………………………….
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekarang kita
merasakan era globalisasi, sebuah dunia yang tanpa batasan. Bisakah kita
mencegah sesuatu jika kita tidak punya batasan (dinding pelindung) ? pesawat
mata-mata dan satelit selalu memantau berbagai kegiatan kita, sekarang
benar-benar tidak ada lagi privasi dan muslim adalah orang yang sangat menjaga
privasi.
Ide-ide baru sedang dipromosikan dan
menyebar yang menyerang pada bagian paling dasar agama kita. Dapatkah kita
sepakat dengan hak asasi manusia yang meliputi kebebasan untuk memilih agama
sendiri ? dapatkah kita sepakat dengan hak-hak untuk akses bebas
terhadap informasi, termasuk informasi tentang agama lain atau versi
penyimpangan agama kita dan pornografi
2. Rumusan Masalah
Untuk
menghindari meluasnya permasalahan, maka penulis menetapkan rumusan masalah
sebagai berikut ;
1. Apakah itu Globalisasi?
2. Bagaiman kondisi peradaban islam pada
abad pertengahan dibanding di eropa?
3. Apa dampak globalisasi terhadap
peradaban islam?
3. Tujuan
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Globalisasi
Globalisasi adalah
sebuah term yang telah lama mewacana. Hingga kini, konsep globalisasi masih terus menjadi materi perbincangan di
kalangan ilmuwan dari varian disiplin keilmuan. Ia adalah sebuah entri baru
dalam leksikon. Ia merupakan sebuah istilah teknis yang sering digunakan dalam
konferensi dan perbincangan intelektual masa kini. Kendati demikian, proses
globalisasi itu sendiri telah memosisikan diri sejak permulaan sejarah umat
manusia, kendati berjalan lambat. Satu hal yang menjadikannya terlihat baru
hanyalah karena cepatnya perubahan yang terjadi sebagai imbas dari perkembangan
teknologi.
Ironisnya, konsep globalisasi belakangan ini lebih banyak diatributkan pada
isu-isu ekonomi, yang seolah menyiratkan ternafikannya dimensi yang lain. Hal
ini terlihat pada definisi globalisasi yang diungkapkan oleh Princeton N.
Lyman, yaitu “rapid growth of interdependency and connection in the world of
trade and finance”. Padahal,
globalisasi itu sendiri bukanlah sekadar dimensi ekonomi, melainkan sebuah
konsep yang bersinggungan dengan segenap sendi kehidupan, termasuk agama.
Islam sebagai agama menjadi patut mendapat uraian yang utuh terkait dengan
globalisme yang kian tak terbendung. Paling tidak, uraian bab ini akan
mengelaborasi fenomena keislaman kekinian di tengah himpitan globalisme. Salah
satu yang menjadi fokus kajiannya adalah dampak globalisasi terhadap ajaran
keislaman.
Luasnya tafsiran tentang globalisasi disebabkan oleh kerancuan yang muncul,
karena istilah globalisasi digunakan berganti-ganti dengan istilah internasional,
inter-territorial, multinasional, transnasional, dan world-wide. Padahal,
istilah-istilah tersebut berbeda makna satu sama lain. Dunia menjadi sebuah
perkampungan global dan tak satu negara pun, termasuk Amerika Serikat, yang
mampu mengasingkan diri atau mengabaikan opini global tanpa kendala.
Perkampungan global sekarang ini dibentuk dalam bagian luas oleh Amerika
Serikat dan prinsip dasar yang termaktub dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
dan Deklarasi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Umat manusia di segenap
penjuru dunia menolak aturan kedinastian, dan pemerintahan monarki tetap
bertahan di mana mereka menetapkan diri sebagai bukan pemimpin sungguhan (figureheads)
seperti di Inggris, Norwegia, dan Malaysia. Kekuatan teknologi dan
globalisasi mampu mengikis konsep nation-state.
Stanley Hoffman menyatakan bahwa globalisasi berjalan dalam tiga bentuk yang
masing-masing memiliki masalah tersendiri. Pertama, globalisasi ekonomi
yang merupakan hasil dari revolusi teknologi, informasi, perdagangan,
investasi, dan bisnis internasional. Adapun aktor utamanya adalah perusahaan,
investor, bank, industri jasa, negara, dan organisasi internasional. Kedua, globalisasi
kultural yang merupakan turunan dari revolusi teknologi dan globalisasi ekonomi
yang masing-masing menciptakan dan membentuk arus perpindahan barang-barang
kultural. Titik permasalahannya adalah kemestian untuk memilih antara
uniformitas (lazim disebut Americanization) dan keragaman (diversity).
Hasilnya adalah reaksi terhadap uniformitas tersebut. Ketiga,
globalisasi politik yang merupakan produk dari globalisasi ekonomi dan
globalisasi kultural. Adapun globalisasi politik ditandai oleh kuatnya pengaruh
Amerika Serikat dan institusi politiknya serta berbagai jaringan organisasi
internasional dan regional.
Sebuah fenomena yang patut dikenang adalah bahwa setelah Perang Dingin berakhir
dan setelah aksi serangan terorisme ke New York dan Washington DC pada 2001,
dunia semakin menaruh perhatian pada fenomena kejahatan transnasional
terorganisasi (Transnasional Organized Crime/TOC). Padahal, sebelum
kedua peristiwa tersebut terjadi, persoalan kejahatan terorganisasi sering
dianggap sebagai persoalan kriminal biasa, sehingga hanya berhubungan dengan
ketertiban dan bukan persoalan keamanan (security).
Perkembangan globalisasi sekarang ini demikian pesatnya sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan masa lampau. Ada tiga faktor yang membedakannya dengan
kondisi masa lampau, yaitu: kecepatan (velocity), intensitas (intensity),
dan ekstensitas (ekstensity). Ketiga faktor inilah yang menyebabkan globalisasi
berdampak lebih signifikan ketimbang masa sebelumnya.
Globalisasi ini hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam hal ini, William
Greider menyebut motor di balik globalisasi adalah “kapitalisme global”. Salah
satu dampaknya adalah peran nasionalisme dengan negara-bangsa (nation-state)
sebagai puncaknya mengalami tantangan, sehingga eksistensinya pun turut
terusik.
Terkait dengan bahasan ini, penulis akan menganotasi paparan komentator Michael
Novak yang pernah dilansir di New York Times di penghujung era 1990-an.
Menurutnya, pada abad XX M, dunia harus menghadapi tiga permasalahan besar
sebagai imbas dari globalisasi. Yang pertama bernuansa politik, yaitu
apakah prinsip demokrasi atau diktator yang terbaik buat masyarakat dunia?
Realitas kekinian telah mempertontonkan bahwa pada abad XX-an, demokrasi telah
membuktikan dirinya sebagai bentuk pemerintahan yang lebih dominan, sedangkan
kolonialisme dan era kedinastian telah berakhir, serta gagasan dan ide negara
kesatuan telah terlahir. Pertanyaan kedua bernuansa ekonomik, yaitu
apakah perekonomian dikontrol oleh negara atau tanpa kontrol? Jamak dimaklumi
bahwa sejak runtuhnya Uni Sovyet, sejumlah negara sosialis berlomba-lomba
mengadopsi paradigma dan praktik kapitalis untuk memperbaiki kondisi ekonomi
negaranya. Fenomena demikian mendorong beberapa negara seperti China, India,
dan Indonesia untuk memperkuat infrastruktur perekonomiannya semisal sektor
perbankan, sumber daya, serta pasar modal. Resolusi dari kedua permasalahan
besar tersebut telah melahirkan sebuah sistem baru, yaitu kapitalisme
demokratik.
Permasalahan ketiga yang merupakan muara dari kedua fenomena yang
disebutkan sebelumnya, yaitu bagaimana cara hidup kita menghadapi fenomena
tersebut? Inilah persoalan yang masih “belum terselesaikan” di era abad XX-an.
Dengan mengambil sampel fenomena Amerika, Michael Novak menyimpul bahwa
solusinya adalah “agama”. Ia juga menegaskan bahwa umat Islam di seluruh dunia
mesti mengenali demokrasi kapitalisme yang telah mengglobal agar sanggup
mentransformasikan kehidupannya dalam percaturan global.
2. Peradaban islam
Perbandingan Peradaban Islam dan Eropa Pada abad
Pertengahan
Kalau kita masuk mesin waktu menuju abad pertengahan
seperti abad ke-10 Masehi (ke-4 Hijriah) dan terbang menyusuri kota-kota dunia
Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan terkaget-kaget melihat perbedaan
besar antara kedua dunia itu. Anda
akan tercengang melihat sebuah dunia yang penuh dengan kehidupan, kekuatan dan
peradaban, yakni dunia Islam, dan sebuah dunia lain yang primitif, sama sekali
tidak ada kesan kehidupan, ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat.
Marilah kini kita
bandingkan kota-kota di dunia itu. Kita mulai dengan dunia Barat untuk melihat
bagaimana penghidupan penduduknya, keluasan kota-kotanya dan martabat
orang-orangnya.
2.1 Keadaan dunia Eropa yang Primitif
Dalam
buku sejarah umum karya Lavis dan Rambou dijelaskan bahwa
Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan
negeri yang tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu
kasar tidak dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun
di dataran rendah. Rumah-rumah itu berpintu sempit, tidak terkunci kokoh dan
dinding serta temboknya tidak berjendela. Wabah-wabah penyakit berulang-ulang
berjangkit menimpa binatang-binatang ternak yang merupakan sumber penghidupan
satu-satunya.
Tempat
kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik dari hewan. Kepala suku tinggal
di gubuknya bersama keluarga, pelayan dan orang-orang yang punya hubungan
dengannya. Mereka berkumpul di sebuah ruangan besar. Di bagian tengahnya
terdapat tungku yang asapnya mengepul lewat lobang tembus yang menganga di
langit-langit.
Mereka semua makan di satu meja. Majikan dan isterinya duduk
di salah satu ujung meja. Sendok dan garpu belum dikenal dan gelas-gelas
mempunyai huruf di bagian bawahnya. Setiap orang yang makan harus memegang
sendiri gelasnya atau menuangkannya ke mulutnya sekaligus. Majikan beranjak
memasuki biliknya di sore hari setelah selesai makan dan minum. Meja dan
perkakas kemudian diangkat. Semua orang yang ada di ruangan itu tidur di tanah
atau di atas bangku panjang. Senjata mereka ditaruh di atas kepala mereka masing-masing
karena pencuri saat itu sangat berani sehingga orang dituntut untuk selalu
waspada dalam setiap waktu dan keadaan.
Pada masa itu Eropa penuh dengan hutan-hutan belantara.
Sistem pertaniannya terbelakang. Dari rawa-rawa yang banyak terdapat di
pinggiran kota, tersebar bau-bau busuk yang mematikan. Rumah-rumah di Paris dan
London dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jerami dan bambu
(seperti rumah-rumah desa kita setengah abad yang lalu). Rumah-rumah itu tidak
berventilasi dan tidak punya kamar-kamar yang teratur. Permadani sama sekali
belum dikenal di kalangan mereka. Mereka juga tidak punya tikar, kecuali
jerami-jerami yang ditebarkan di atas tanah.
Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah
dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk yang
meresahkan. Satu keluarga semua anggotanya (laki-laki, perempuan dan anak-anak)
tidur di satu kamar bahkan seringkali binatang-binatang piaraan dikumpulkan
bersama mereka. Tempat tidur mereka berupa sekantung jerami yang di atasnya
diberi sekantung bulu domba sebagai bantal. Jalan-jalan raya tiada ada saluran
airnya, tidak ada batu-batu pengeras dan lampu. kota terbesar di Eropa
berpenghuni tidak lebih dari 25.000 orang.
Begitulah keadaan bangsa Barat pada abad pertengahan sampai
abad ke-11 Masehi, menurut pengakuan para sejarawan mereka sendiri.
Kalau kita masuk mesin
waktu menuju abad pertengahan seperti abad ke-10 Masehi (ke-4 Hijriah) dan
terbang menyusuri kota-kota dunia Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan
terkaget-kaget melihat perbedaan besar
antara
kedua dunia itu. Anda akan tercengang melihat sebuah dunia yang penuh dengan
kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan sebuah dunia lain
yang primitif, sama sekali tidak ada kesan kehidupan, ilmu pengetahuan dan
peradaban yakni dunia Barat.
3.
Dampak Globalisasi
terhadap Islam
Tak ayal, kaum Muslim dunia telah memasuki sebuah era baru. Akhir dari Perang
Dunia I diikuti dengan pembentukan Liga Nasional (League of Nations) dan
Amerika berupaya membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada Asas
Wilson yang selanjutnya menjadi bagian dari Deklarasi Amerika tentang Hak Asasi
Manusia.
Sebagai dampak dari globalisasi terhadap dunia Islam telah dicatat oleh Feisal Abdul
Rauf. Menurutnya, dalam kurun delapan puluh tahun, telah terjadi sejumlah
peristiwa penting dalam sejarah Islam, di antaranya:
1. 1924, Dinasti Utsmaniyah
berakhir dan Inggris, Prancis, dan Rusia memisahkan dinasti tersebut ke menjadi
sejumlah negara yang terpisah.
2. 1947, India terpecah
menjadi Pakistan dan India. Sebuah upaya terencana untuk menciptakan sebuah
negara-bangsa Islam yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan geografis.
3. 1948, Israel dibentuk
sebagai negara-bangsa Yahudi yang dalam batas wilayah dunia Muslim.
4. 1979, Revolusi Khomeini
di Iran.
5. 1989, Tembok Berlin
runtuh dan berakhirnya Perang Dingin yang mengubah kalkulasi politik dengan
memandang Afganista dan dunia Islam.
6. 11 September 2001, drama
penyerangan bom bunuh diri dalam sejarah yang terjadi di daratan Amerika.
7. 2003, untuk pertama
kalinya militer Amerika menduduki Irak dengan ratusan ribu pasukan guna
membentuk sebuah negara Irak baru.
Pada era globalisme, gerakan-gerakan Islam modern pun
bermunculan dengan varian bentuknya. Oleh Bruce Lawrence disebutnya sebagai
“pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam”.
Gerakan militan Islam dpaat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: teologi,
politik, budaya, dan pendidikan. Adalah aspek teologis yang menjadi
isu sentral dalam uraian ini. Dalam konteks ini, aspek teologis dapat
dijelaskan dari dua hal. Pertama, ajaran Islam sangat “resisten”
terhadap perbedaan pandangan tentang sekularisasi. Fenomena modern tak ayal
memunculkan pandangan bahwa sekularisasi hanya akan menihilkan peran agama
dalam kehidupan umat manusia. Agama dan sekularisasi acap kali diposisikan
sebagai dua entitas yang berlawanan, sehingga meniscayakan terjadinya
penentangan terhadap konsep sekularisasi. Kedua, interpretasi terhadap
dogma agama yang tertuang dalam teks. Fenomena ini adalah yang paling dominan
dalam membentuk perbedaan paradigma keagamaan. Asumsi ini juga terbukti pada
fenomena perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab fikih yang didasarkan oleh
cara pembacaan terhadap teks ilahi yang sama namun menghasilkan produk fikih
yang berbeda. Demikian halnya dengan gerakan militansi Islam besar peluangnya
untuk dipengaruhi oleh cara pembacaannya terhadap teks al-Qur’an dan hadis.
Terkait dengan itu, fenomena “kebangkitan Islam” oleh John L. Esposito
menyebutkan ada dua kecenderungan besar, yaitu identitas komunal dan
demokratisasi. Keduanya adalah representasi tuntutan terhadap pemberdayaan
rakyat dan pengakuan identitas dalam konteks aktivitas dan pengalaman manusia
yang semakin global. Situasi dan kondisi yang khas di setiap wilayah dunia
membentuk ekspresi kedua kecenderungan tersebut, sehingga terkadang saling
melengkapi dan terkadang pula saling bertentangan. Kendati berbeda, namun
perkembangan regional turut memengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan
global yang keduanya tidak dapat dipisahkan.
I
Terdapat dua paradigma yang mewarnai hubungan antara Islam dan Barat, yaitu The
End of History dan The Clash of Civilizations. Adalah Francis
Fukuyama yang mengajukan paradigma pertama bahwa umat manusia dilingkupi
benturan ide yang masing-masing berupaya maksimal untuk menempatkan dirinya
sebagai paradigma yang universal dan mengorganisasi dan mengendalikan masyarakat
sejalan dengan ide dasar pemikirannya, yaitu demokrasi barat yang liberal di
era Perang Dingin. Ide ini memosisikan superioritas idealisme barat mengatasi
sosialisme dan kemenangan kebaikan mengatasi kejahatan. Sehubungan dengan itu, Hegel menyatakan bahwa sejarah
dunia dimulai oleh orang Persia karena mereka adalah yang paling awal
mengonsepsi dunia sebagai pertarungan kosmis antara dua kekuatan yang saling
berlawanan, dan kesudahan dari itu membawa sejarah dan dunia berakhir. Dalam
doktrin Zoroaster, kesudahan tersebut terjadi sebagai hasil dari campur tangan
tuhan. Dalam hal ini, Fukuyama bersikukuh pada pandangannya bahwa kesudahan
tersebut terjadi sebagai akibat dari kemenangan Barat atas komunisme. Kendati
tidak menyebutnya secara jelas, namun Fukuyama mengindikasikan bahwa ia
meyakini Utopia liberal telah diterima dan dapat digapai oleh orang asalkan
mereka hidup di bawah aturan liberalisme barat. Ia juga berpendapat bahwa tidak ada ideologi lain yang
mampu menjadi antitesis dari ideologi liberalisme barat. Kendati demikian,
teori Fukuyama ini menyisakan sejumlah persoalan yang belum terjawab, di
antaranya apa yang akan menetapkan relasi antrnegara di era setelah sejarah
yang disebutnya berakhir tersebut? Atau, apa yang akan menjadi dinamika utama
dari konflik dan kerja sama yang terjalin di antara negara-negara?
Sementara itu, Bernard Lewis memperkenalkan konsep The Clash of
Civilizations jauh sebelum runtuhnya Uni Sovyet. Baru pada tahun 1933,
Samuel Huntington memopulerkan konsep tersebut. Konsep ini berasumsi bahwa
setelah runtuhnya Uni Sovyet, maka Islam menjadi rivalitas baru bagi barat.
Antara blok barat dan Islam masing-masing memainkan peran besar dalam
memengaruhi paradigma masyarakat dunia. Antara keduanya terjadi rivalitas yang
besar. Wacana benturan peradaban antara barat dan Islam tersebut diklasifikasi
ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini tak
terhindarkannya (inevitable) konflik antara kedua blok tersebut. Oleh
Benazir Bhutto, kelompok ini disebutnya “clashers”. Kedua, kelompok yang
berpandangan sebaliknya, yaitu dapatnya dikompromikan antara dua blok yang
berbenturan tersebut. Kelompok ini disebut “reconciliationist”.
Salah seorang ilmuwan yang tergolong kelompok “clasher” adalah Oswald Spengler
dalam karyanya The Decline of the West yang pertama kali diterbitkan
pada tahun 1918 setelah Perang Dunia Pertama. Ia mendefiniskan sejarah sebagai
peradaban (civilizations). Splenger berkeyakinan bahwa ada delapan
“budaya tinggi” (high cultures) dalam sejarah umat manusia. Namun, barat
adalah budaya yang paling dominan di dunia yang disebutnya “Faustian” yang
telah bermula sejak seribu tahun sebelumnya di Eropa Barat dan telah memasuki
fase kemerosotan. Ia mengklasifikasi setiap budaya dominan sepanjang sejarah ke
dalam empat tingkatan musim secara metaforis. Musim semi (spring) adalah
permulaan dari sebuah budaya; musim panas (summer) adalah fase sebuah
budaya ketika civil society terbentuk dan pemikiran kritis berkembang;
musim gugur (autumn) adalah puncak dari kontribusi dan keuasaan sebuah
budaya; musim dingin (winter) adalah runtuhnya sebuah budaya ketika
pemikiran kritis yang baru kering mengambil-alih kehidupan masyarakat. Splenger
menyebut musim tersebut sebagai “irreligiosity”.
Di lain pihak, Arnold Toynbee juga menorehkan sebuah karya sejenis yang
dijuduli A Study of History. Ia menyatakan bahwa runtuhnya sebuah
peradaban terjadi ketika “minoritas kreatif” (creative minority) mandek
menghasilkan ide-ide cemerlang dan merasa puas dengan lingkup kondisi yang
tidak adil. Dalam hal ini, “minoritas kreatif” menjadi sebuah “minoritas
dominan” dan mempercepat keruntuhan budaya yang dominan. Toynbee berpendapat
bahwa peradaban mengalami masa jaya dan keruntuhan secara bergantian. Ia melibatkan
23 peradaban sepanjang sejarah untuk membuktikan validitas teorinya. Urgensi
teori Toynbee adalah karena ia terus mengembangkan teori peradaban yang
berbasiskan sejarah (the theory of civilization-based history).
Pemikiran Toynbee ini telah berkontribusi besar dalam perkembangan intelektual,
khususnya kalangan “clashers” yang mengikutinya.
Ilmuwan selanjutnya yang tergolong “clashers” adalah Bernard Lewis yang menulis
artikel “The Roots of Muslim Rage” yang sebenarnya mencetuskan term “The Clash
of Civilizations” yang selanjutnya dipopulerkan oleh Samuel Huntington. Lewis
menyatakan bahwa negara-negara Muslim telah mencoba model ekonomi dan politik
Barat, tetapi hasilnya adalah kemiskinan dan tirani. Umat Islam diselubungi
oleh sebuah persoalan besar terkait dengan ide-ide barat yang sekuler dan
modern. Keduanya dianggap telah berkontribusi negatif terhadap dunia Islam
dengan menghancurkan nilai dan struktur sosial umat Islam. Adalah Amerika dan
negara barat yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan g
Namun, paradigma “The Clash of Civilizations” ini mendaat tantangan hebat dari
sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Benazir Bhutto yang me\ngkhawatirkannya
menjadi motivasi untuk mengonfrontasi Islam dengan dunia barat. Lagipula,
paradigma tersebut didasarkan pada asumsi yang samar terhadap Islam yang
menyebut bahwa kebudayaan Islam sangat menentang nilai-nilai demokrasi, baik
menurut al-Qur’an maupun penafsiran ulama tentang itu, sehingga memengaruhi
para ekstremis Islam bahwa barat tidak menghormati dan menetang keyakinan dan
sejarah Islam. Paradigma “The Clash of Civilizations” tidak hanya provokatif
secara intelektual, tetapi menghembuskan rasa saling benci dan ketakutan, baik
di pihak barat maupun umat Islam.
Konsep utama yang dibangun oleh Samuel Huntington melalui “The Clash of
Civilizations” adalah bahwa setelah era Perang Dingin, dunia memasuki sebuah
era konflik baru yang sangat berbeda dengan konflik ratusan tahun sebelumnya.
Konflik yang akan terjadi adalah antarperadaban. Ia mengidentifikasi tujuh
macam peradaban yang berbeda satu sama lain, yaitu: Barat, Konfusianisme,
Jepang, Islam, Hindu, Orthodoks Slavia (Slavic-Orthodoks), dan Amerika Latin.
DAFTAR
PUSTAKA
As-Siba’I Mustafa.Jurnal Peradaban Islam.
Imam
Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam: A New Vision for Muslims and the
West, (New York: HarperSan Fransisco, 2005), cet. I, h. 244.
Lihat: Osman Bakar, “Pengaruh Globalisasi terhadap
Peradaban” dalam al-Huda Vol. II/7, 2002, h. 109.
Imam
Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 243.
Stanley
Hoffman, “Clash of Globalization”, dalam Foreign Affairs Vol. 81/4
(July/August 2002), h. 107-108.
I.
Wibowo, “Globalisasi dan Kapitalisme Global,” Kompas, 27 April 2002.
Imam
Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 248.
Imam
Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 243.
Imam
Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 244.
John
L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem
dan Prospek (terj.), (Bandung: Mizan, 1999), h. 17.
Lihat:
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: TTThe
Free Press, 1992)
GWF.
Hegel, The Philosophy of History, (New York: Dover Publications, 1956),
h. 173-174.
Shireen
T. Hunter, The Future of Islam and The West: Clash of Civilizations or
Peaceful Coexistence?, (London: Praeger Publishers, 1998), cet. I, h. 5.
Benazir
Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, (London: Simon
& Schuster, 2008), h. 233.
Benazir
Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 234.
Benazir
Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 234.
Benazir
Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 237.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar