Minggu, 03 Juni 2012

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERADABAN ISLAM


DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERADABAN ISLAM

OLEH
IMMAWAN IMRAN TRI KERWIYADI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2011



KATA PENGANTAR
Semoga Allah yang Mahamulia senantiasa melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita, sehingga kita bukan saja menjadi hamba yang mulia, tetapi juga diridhai-Nya. Shalawat dan salam teruntuk Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliaulah panutan kita yang paling hak di bumi ini.

Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini, terutama kepada teman-teman immawan&immawati serta kakak-kakak yang selalu memberikan bimbingan dan arahan demi tercapainya hasil yang maksimal.

Andai penulis telah melakukan kebenaran, maka sesungguhnya itu datangnya dari Allah dan andai penulis melakukan kesalahan maka itu datangnya dari penulis sendiri, dan semoga Allah memaafkannya.                                                                    
                                                                      Makassar 2011
       
                                                                                 Penulis,

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar  Belakang
2.      Rumusan Masalah ………………………………………………………….
3.      Tujuan Penulisan …………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
1.      Globalisasi ………………………………………………………………...
2.      Peradaban Islam
2.1 Perbandingan Peradaban Islam dan Eropa abad Pertengahan ………...
3.      Dampak Globalisasi Terhadap Islam ………………………………….......
BAB III  PENUTUP
1.     Kesimpulan…………………………………………………………………
2.    Saran ……………………………………………………………………….



BAB I
PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang
          Sekarang kita merasakan era globalisasi, sebuah dunia yang tanpa batasan. Bisakah kita mencegah sesuatu jika kita tidak punya batasan (dinding pelindung) ? pesawat mata-mata dan satelit selalu memantau berbagai kegiatan kita, sekarang benar-benar tidak ada lagi privasi dan muslim adalah orang yang sangat menjaga privasi.
          Ide-ide baru sedang dipromosikan dan menyebar yang menyerang pada bagian paling dasar agama kita. Dapatkah kita sepakat dengan hak asasi manusia yang meliputi kebebasan untuk memilih agama sendiri ? dapatkah kita sepakat dengan hak-hak untuk akses bebas terhadap informasi, termasuk informasi tentang agama lain atau versi penyimpangan agama kita dan pornografi
2.  Rumusan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan, maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut ;
1.      Apakah itu Globalisasi?
2.      Bagaiman kondisi peradaban islam pada abad pertengahan dibanding di eropa?
3.      Apa dampak globalisasi terhadap peradaban islam?
3.  Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN

1.  Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah term yang telah lama mewacana. Hingga kini, konsep globalisasi masih terus menjadi materi perbincangan di kalangan ilmuwan dari varian disiplin keilmuan. Ia adalah sebuah entri baru dalam leksikon. Ia merupakan sebuah istilah teknis yang sering digunakan dalam konferensi dan perbincangan intelektual masa kini. Kendati demikian, proses globalisasi itu sendiri telah memosisikan diri sejak permulaan sejarah umat manusia, kendati berjalan lambat. Satu hal yang menjadikannya terlihat baru hanyalah karena cepatnya perubahan yang terjadi sebagai imbas dari perkembangan teknologi.  
            Ironisnya, konsep globalisasi belakangan ini lebih banyak diatributkan pada isu-isu ekonomi, yang seolah menyiratkan ternafikannya dimensi yang lain. Hal ini terlihat pada definisi globalisasi yang diungkapkan oleh Princeton N. Lyman, yaitu “rapid growth of interdependency and connection in the world of trade and finance”. Padahal, globalisasi itu sendiri bukanlah sekadar dimensi ekonomi, melainkan sebuah konsep yang bersinggungan dengan segenap sendi kehidupan, termasuk agama.
            Islam sebagai agama menjadi patut mendapat uraian yang utuh terkait dengan globalisme yang kian tak terbendung. Paling tidak, uraian bab ini akan mengelaborasi fenomena keislaman kekinian di tengah himpitan globalisme. Salah satu yang menjadi fokus kajiannya adalah dampak globalisasi terhadap ajaran keislaman. 
            Luasnya tafsiran tentang globalisasi disebabkan oleh kerancuan yang muncul, karena istilah globalisasi digunakan berganti-ganti dengan istilah internasional, inter-territorial, multinasional, transnasional, dan world-wide. Padahal, istilah-istilah tersebut berbeda makna satu sama lain. Dunia menjadi sebuah perkampungan global dan tak satu negara pun, termasuk Amerika Serikat, yang mampu mengasingkan diri atau mengabaikan opini global tanpa kendala. Perkampungan global sekarang ini dibentuk dalam bagian luas oleh Amerika Serikat dan prinsip dasar yang termaktub dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Deklarasi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Umat manusia di segenap penjuru dunia menolak aturan kedinastian, dan pemerintahan monarki tetap bertahan di mana mereka menetapkan diri sebagai bukan pemimpin sungguhan (figureheads) seperti di Inggris, Norwegia, dan Malaysia. Kekuatan teknologi dan globalisasi mampu mengikis konsep nation-state.  
            Stanley Hoffman menyatakan bahwa globalisasi berjalan dalam tiga bentuk yang masing-masing memiliki masalah tersendiri. Pertama, globalisasi ekonomi yang merupakan hasil dari revolusi teknologi, informasi, perdagangan, investasi, dan bisnis internasional. Adapun aktor utamanya adalah perusahaan, investor, bank, industri jasa, negara, dan organisasi internasional. Kedua, globalisasi kultural yang merupakan turunan dari revolusi teknologi dan globalisasi ekonomi yang masing-masing menciptakan dan membentuk arus perpindahan barang-barang kultural. Titik permasalahannya adalah kemestian untuk memilih antara uniformitas (lazim disebut Americanization) dan keragaman (diversity). Hasilnya adalah reaksi terhadap uniformitas tersebut. Ketiga, globalisasi politik yang merupakan produk dari globalisasi ekonomi dan globalisasi kultural. Adapun globalisasi politik ditandai oleh kuatnya pengaruh Amerika Serikat dan institusi politiknya serta berbagai jaringan organisasi internasional dan regional. 
            Sebuah fenomena yang patut dikenang adalah bahwa setelah Perang Dingin berakhir dan setelah aksi serangan terorisme ke New York dan Washington DC pada 2001, dunia semakin menaruh perhatian pada fenomena kejahatan transnasional terorganisasi (Transnasional Organized Crime/TOC). Padahal, sebelum kedua peristiwa tersebut terjadi, persoalan kejahatan terorganisasi sering dianggap sebagai persoalan kriminal biasa, sehingga hanya berhubungan dengan ketertiban dan bukan persoalan keamanan (security).
            Perkembangan globalisasi sekarang ini demikian pesatnya sehingga tidak dapat dibandingkan dengan masa lampau. Ada tiga faktor yang membedakannya dengan kondisi masa lampau, yaitu: kecepatan (velocity), intensitas (intensity), dan ekstensitas (ekstensity). Ketiga faktor inilah yang menyebabkan globalisasi berdampak lebih signifikan ketimbang masa sebelumnya.
            Globalisasi ini hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam hal ini, William Greider menyebut motor di balik globalisasi adalah “kapitalisme global”. Salah satu dampaknya adalah peran nasionalisme dengan negara-bangsa (nation-state) sebagai puncaknya mengalami tantangan, sehingga eksistensinya pun turut terusik.
            Terkait dengan bahasan ini, penulis akan menganotasi paparan komentator Michael Novak yang pernah dilansir di New York Times di penghujung era 1990-an. Menurutnya, pada abad XX M, dunia harus menghadapi tiga permasalahan besar sebagai imbas dari globalisasi. Yang pertama bernuansa politik, yaitu apakah prinsip demokrasi atau diktator yang terbaik buat masyarakat dunia? Realitas kekinian telah mempertontonkan bahwa pada abad XX-an, demokrasi telah membuktikan dirinya sebagai bentuk pemerintahan yang lebih dominan, sedangkan kolonialisme dan era kedinastian telah berakhir, serta gagasan dan ide negara kesatuan telah terlahir. Pertanyaan kedua bernuansa ekonomik, yaitu apakah perekonomian dikontrol oleh negara atau tanpa kontrol? Jamak dimaklumi bahwa sejak runtuhnya Uni Sovyet, sejumlah negara sosialis berlomba-lomba mengadopsi paradigma dan praktik kapitalis untuk memperbaiki kondisi ekonomi negaranya. Fenomena demikian mendorong beberapa negara seperti China, India, dan Indonesia untuk memperkuat infrastruktur perekonomiannya semisal sektor perbankan, sumber daya, serta pasar modal. Resolusi dari kedua permasalahan besar tersebut telah melahirkan sebuah sistem baru, yaitu kapitalisme demokratik.
            Permasalahan ketiga yang merupakan muara dari kedua fenomena yang disebutkan sebelumnya, yaitu bagaimana cara hidup kita menghadapi fenomena tersebut? Inilah persoalan yang masih “belum terselesaikan” di era abad XX-an. Dengan mengambil sampel fenomena Amerika, Michael Novak menyimpul bahwa solusinya adalah “agama”. Ia juga menegaskan bahwa umat Islam di seluruh dunia mesti mengenali demokrasi kapitalisme yang telah mengglobal agar sanggup mentransformasikan kehidupannya dalam percaturan global.
2.  Peradaban islam
Perbandingan Peradaban Islam dan Eropa Pada abad Pertengahan
Kalau kita masuk mesin waktu menuju abad pertengahan seperti abad ke-10 Masehi (ke-4 Hijriah) dan terbang menyusuri kota-kota dunia Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan terkaget-kaget melihat perbedaan besar  antara kedua dunia itu. Anda akan tercengang melihat sebuah dunia yang penuh dengan kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan sebuah dunia lain yang primitif, sama sekali tidak ada kesan kehidupan, ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat.
Marilah kini kita bandingkan kota-kota di dunia itu. Kita mulai dengan dunia Barat untuk melihat bagaimana penghidupan penduduknya, keluasan kota-kotanya dan martabat orang-orangnya.
2.1  Keadaan dunia Eropa yang Primitif
Dalam buku sejarah umum karya Lavis dan Rambou dijelaskan bahwa Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu kasar tidak dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun di dataran rendah. Rumah-rumah itu berpintu sempit, tidak terkunci kokoh dan dinding serta temboknya tidak berjendela. Wabah-wabah penyakit berulang-ulang berjangkit menimpa binatang-binatang ternak yang merupakan sumber penghidupan satu-satunya.
Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik dari hewan. Kepala suku tinggal di gubuknya bersama keluarga, pelayan dan orang-orang yang punya hubungan dengannya. Mereka berkumpul di sebuah ruangan besar. Di bagian tengahnya terdapat tungku yang asapnya mengepul lewat lobang tembus yang menganga di langit-langit.
Mereka semua makan di satu meja. Majikan dan isterinya duduk di salah satu ujung meja. Sendok dan garpu belum dikenal dan gelas-gelas mempunyai huruf di bagian bawahnya. Setiap orang yang makan harus memegang sendiri gelasnya atau menuangkannya ke mulutnya sekaligus. Majikan beranjak memasuki biliknya di sore hari setelah selesai makan dan minum. Meja dan perkakas kemudian diangkat. Semua orang yang ada di ruangan itu tidur di tanah atau di atas bangku panjang. Senjata mereka ditaruh di atas kepala mereka masing-masing karena pencuri saat itu sangat berani sehingga orang dituntut untuk selalu waspada dalam setiap waktu dan keadaan.
Pada masa itu Eropa penuh dengan hutan-hutan belantara. Sistem pertaniannya terbelakang. Dari rawa-rawa yang banyak terdapat di pinggiran kota, tersebar bau-bau busuk yang mematikan. Rumah-rumah di Paris dan London dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jerami dan bambu (seperti rumah-rumah desa kita setengah abad yang lalu). Rumah-rumah itu tidak berventilasi dan tidak punya kamar-kamar yang teratur. Permadani sama sekali belum dikenal di kalangan mereka. Mereka juga tidak punya tikar, kecuali jerami-jerami yang ditebarkan di atas tanah.
Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk yang meresahkan. Satu keluarga semua anggotanya (laki-laki, perempuan dan anak-anak) tidur di satu kamar bahkan seringkali binatang-binatang piaraan dikumpulkan bersama mereka. Tempat tidur mereka berupa sekantung jerami yang di atasnya diberi sekantung bulu domba sebagai bantal. Jalan-jalan raya tiada ada saluran airnya, tidak ada batu-batu pengeras dan lampu. kota terbesar di Eropa berpenghuni tidak lebih dari 25.000 orang.
Begitulah keadaan bangsa Barat pada abad pertengahan sampai abad ke-11 Masehi, menurut pengakuan para sejarawan mereka sendiri.
Kalau kita masuk mesin waktu menuju abad pertengahan seperti abad ke-10 Masehi (ke-4 Hijriah) dan terbang menyusuri kota-kota dunia Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan terkaget-kaget melihat perbedaan besar
antara kedua dunia itu. Anda akan tercengang melihat sebuah dunia yang penuh dengan kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan sebuah dunia lain yang primitif, sama sekali tidak ada kesan kehidupan, ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat.
3.    Dampak Globalisasi terhadap Islam
            Tak ayal, kaum Muslim dunia telah memasuki sebuah era baru. Akhir dari Perang Dunia I diikuti dengan pembentukan Liga Nasional (League of Nations) dan Amerika berupaya membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada Asas Wilson yang selanjutnya menjadi bagian dari Deklarasi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.
            Sebagai dampak dari globalisasi terhadap dunia Islam telah dicatat oleh Feisal Abdul Rauf. Menurutnya, dalam kurun delapan puluh tahun, telah terjadi sejumlah peristiwa penting dalam sejarah Islam, di antaranya:
1.      1924, Dinasti Utsmaniyah berakhir dan Inggris, Prancis, dan Rusia memisahkan dinasti tersebut ke menjadi sejumlah negara yang terpisah.
2.      1947, India terpecah menjadi Pakistan dan India. Sebuah upaya terencana untuk menciptakan sebuah negara-bangsa Islam yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan geografis.
3.      1948, Israel dibentuk sebagai negara-bangsa Yahudi yang dalam batas wilayah dunia Muslim.
4.      1979, Revolusi Khomeini di Iran.
5.      1989, Tembok Berlin runtuh dan berakhirnya Perang Dingin yang mengubah kalkulasi politik dengan memandang Afganista dan dunia Islam.
6.      11 September 2001, drama penyerangan bom bunuh diri dalam sejarah yang terjadi di daratan Amerika.
7.      2003, untuk pertama kalinya militer Amerika menduduki Irak dengan ratusan ribu pasukan guna membentuk sebuah negara Irak baru.
     
Pada era globalisme, gerakan-gerakan Islam modern pun bermunculan dengan varian bentuknya. Oleh Bruce Lawrence disebutnya sebagai “pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam”.
            Gerakan militan Islam dpaat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: teologi, politik, budaya, dan pendidikan. Adalah aspek teologis yang menjadi isu sentral dalam uraian ini. Dalam konteks ini, aspek teologis dapat dijelaskan dari dua hal. Pertama, ajaran Islam sangat “resisten” terhadap perbedaan pandangan tentang sekularisasi. Fenomena modern tak ayal memunculkan pandangan bahwa sekularisasi hanya akan menihilkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Agama dan sekularisasi acap kali diposisikan sebagai dua entitas yang berlawanan, sehingga meniscayakan terjadinya penentangan terhadap konsep sekularisasi. Kedua, interpretasi terhadap dogma agama yang tertuang dalam teks. Fenomena ini adalah yang paling dominan dalam membentuk perbedaan paradigma keagamaan. Asumsi ini juga terbukti pada fenomena perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab fikih yang didasarkan oleh cara pembacaan terhadap teks ilahi yang sama namun menghasilkan produk fikih yang berbeda. Demikian halnya dengan gerakan militansi Islam besar peluangnya untuk dipengaruhi oleh cara pembacaannya terhadap teks al-Qur’an dan hadis.
            Terkait dengan itu, fenomena “kebangkitan Islam” oleh John L. Esposito menyebutkan ada dua kecenderungan besar, yaitu identitas komunal dan demokratisasi. Keduanya adalah representasi tuntutan terhadap pemberdayaan rakyat dan pengakuan identitas dalam konteks aktivitas dan pengalaman manusia yang semakin global. Situasi dan kondisi yang khas di setiap wilayah dunia membentuk ekspresi kedua kecenderungan tersebut, sehingga terkadang saling melengkapi dan terkadang pula saling bertentangan. Kendati berbeda, namun perkembangan regional turut memengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan global yang keduanya tidak dapat dipisahkan.
I
            Terdapat dua paradigma yang mewarnai hubungan antara Islam dan Barat, yaitu The End of History dan The Clash of Civilizations. Adalah Francis Fukuyama yang mengajukan paradigma pertama bahwa umat manusia dilingkupi benturan ide yang masing-masing berupaya maksimal untuk menempatkan dirinya sebagai paradigma yang universal dan mengorganisasi dan mengendalikan masyarakat sejalan dengan ide dasar pemikirannya, yaitu demokrasi barat yang liberal di era Perang Dingin. Ide ini memosisikan superioritas idealisme barat mengatasi sosialisme dan kemenangan kebaikan mengatasi kejahatan. Sehubungan dengan itu, Hegel menyatakan bahwa sejarah dunia dimulai oleh orang Persia karena mereka adalah yang paling awal mengonsepsi dunia sebagai pertarungan kosmis antara dua kekuatan yang saling berlawanan, dan kesudahan dari itu membawa sejarah dan dunia berakhir. Dalam doktrin Zoroaster, kesudahan tersebut terjadi sebagai hasil dari campur tangan tuhan. Dalam hal ini, Fukuyama bersikukuh pada pandangannya bahwa kesudahan tersebut terjadi sebagai akibat dari kemenangan Barat atas komunisme. Kendati tidak menyebutnya secara jelas, namun Fukuyama mengindikasikan bahwa ia meyakini Utopia liberal telah diterima dan dapat digapai oleh orang asalkan mereka hidup di bawah aturan liberalisme barat. Ia juga berpendapat bahwa tidak ada ideologi lain yang mampu menjadi antitesis dari ideologi liberalisme barat. Kendati demikian, teori Fukuyama ini menyisakan sejumlah persoalan yang belum terjawab, di antaranya apa yang akan menetapkan relasi antrnegara di era setelah sejarah yang disebutnya berakhir tersebut? Atau, apa yang akan menjadi dinamika utama dari konflik dan kerja sama yang terjalin di antara negara-negara?
            Sementara itu, Bernard Lewis memperkenalkan konsep The Clash of Civilizations jauh sebelum runtuhnya Uni Sovyet. Baru pada tahun 1933, Samuel Huntington memopulerkan konsep tersebut. Konsep ini berasumsi bahwa setelah runtuhnya Uni Sovyet, maka Islam menjadi rivalitas baru bagi barat. Antara blok barat dan Islam masing-masing memainkan peran besar dalam memengaruhi paradigma masyarakat dunia. Antara keduanya terjadi rivalitas yang besar. Wacana benturan peradaban antara barat dan Islam tersebut diklasifikasi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini tak terhindarkannya (inevitable) konflik antara kedua blok tersebut. Oleh Benazir Bhutto, kelompok ini disebutnya “clashers”. Kedua, kelompok yang berpandangan sebaliknya, yaitu dapatnya dikompromikan antara dua blok yang berbenturan tersebut. Kelompok ini disebut “reconciliationist”.
            Salah seorang ilmuwan yang tergolong kelompok “clasher” adalah Oswald Spengler dalam karyanya The Decline of the West yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1918 setelah Perang Dunia Pertama. Ia mendefiniskan sejarah sebagai peradaban (civilizations). Splenger berkeyakinan bahwa ada delapan “budaya tinggi” (high cultures) dalam sejarah umat manusia. Namun, barat adalah budaya yang paling dominan di dunia yang disebutnya “Faustian” yang telah bermula sejak seribu tahun sebelumnya di Eropa Barat dan telah memasuki fase kemerosotan. Ia mengklasifikasi setiap budaya dominan sepanjang sejarah ke dalam empat tingkatan musim secara metaforis. Musim semi (spring) adalah permulaan dari sebuah budaya; musim panas (summer) adalah fase sebuah budaya ketika civil society terbentuk dan pemikiran kritis berkembang; musim gugur (autumn) adalah puncak dari kontribusi dan keuasaan sebuah budaya; musim dingin (winter) adalah runtuhnya sebuah budaya ketika pemikiran kritis yang baru kering mengambil-alih kehidupan masyarakat. Splenger menyebut musim tersebut sebagai “irreligiosity”.
            Di lain pihak, Arnold Toynbee juga menorehkan sebuah karya sejenis yang dijuduli A Study of History. Ia menyatakan bahwa runtuhnya sebuah peradaban terjadi ketika “minoritas kreatif” (creative minority) mandek menghasilkan ide-ide cemerlang dan merasa puas dengan lingkup kondisi yang tidak adil. Dalam hal ini, “minoritas kreatif” menjadi sebuah “minoritas dominan” dan mempercepat keruntuhan budaya yang dominan. Toynbee berpendapat bahwa peradaban mengalami masa jaya dan keruntuhan secara bergantian. Ia melibatkan 23 peradaban sepanjang sejarah untuk membuktikan validitas teorinya. Urgensi teori Toynbee adalah karena ia terus mengembangkan teori peradaban yang berbasiskan sejarah (the theory of civilization-based history). Pemikiran Toynbee ini telah berkontribusi besar dalam perkembangan intelektual, khususnya kalangan “clashers” yang mengikutinya.  
            Ilmuwan selanjutnya yang tergolong “clashers” adalah Bernard Lewis yang menulis artikel “The Roots of Muslim Rage” yang sebenarnya mencetuskan term “The Clash of Civilizations” yang selanjutnya dipopulerkan oleh Samuel Huntington. Lewis menyatakan bahwa negara-negara Muslim telah mencoba model ekonomi dan politik Barat, tetapi hasilnya adalah kemiskinan dan tirani. Umat Islam diselubungi oleh sebuah persoalan besar terkait dengan ide-ide barat yang sekuler dan modern. Keduanya dianggap telah berkontribusi negatif terhadap dunia Islam dengan menghancurkan nilai dan struktur sosial umat Islam. Adalah Amerika dan negara barat yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan g
            Namun, paradigma “The Clash of Civilizations” ini mendaat tantangan hebat dari sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Benazir Bhutto yang me\ngkhawatirkannya menjadi motivasi untuk mengonfrontasi Islam dengan dunia barat. Lagipula, paradigma tersebut didasarkan pada asumsi yang samar terhadap Islam yang menyebut bahwa kebudayaan Islam sangat menentang nilai-nilai demokrasi, baik menurut al-Qur’an maupun penafsiran ulama tentang itu, sehingga memengaruhi para ekstremis Islam bahwa barat tidak menghormati dan menetang keyakinan dan sejarah Islam. Paradigma “The Clash of Civilizations” tidak hanya provokatif secara intelektual, tetapi menghembuskan rasa saling benci dan ketakutan, baik di pihak barat maupun umat Islam.
            Konsep utama yang dibangun oleh Samuel Huntington melalui “The Clash of Civilizations” adalah bahwa setelah era Perang Dingin, dunia memasuki sebuah era konflik baru yang sangat berbeda dengan konflik ratusan tahun sebelumnya. Konflik yang akan terjadi adalah antarperadaban. Ia mengidentifikasi tujuh macam peradaban yang berbeda satu sama lain, yaitu: Barat, Konfusianisme, Jepang, Islam, Hindu, Orthodoks Slavia (Slavic-Orthodoks), dan Amerika Latin.




DAFTAR PUSTAKA
      
As-Siba’I  Mustafa.Jurnal Peradaban Islam.
Imam Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam: A New Vision for Muslims and the West, (New York: HarperSan Fransisco, 2005), cet. I, h. 244.
Lihat: Osman Bakar, “Pengaruh Globalisasi terhadap Peradaban” dalam al-Huda Vol. II/7, 2002, h. 109.
Imam Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 243.
Stanley Hoffman, “Clash of Globalization”, dalam Foreign Affairs Vol. 81/4 (July/August 2002), h. 107-108.  
I. Wibowo, “Globalisasi dan Kapitalisme Global,” Kompas, 27 April 2002.
Imam Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 248.
Imam Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 243.
Imam Feisal Abdul Rauf, What’s Right with Islam, h. 244.
John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek (terj.), (Bandung: Mizan, 1999), h. 17.
Lihat: Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: TTThe Free Press, 1992)
GWF. Hegel, The Philosophy of History, (New York: Dover Publications, 1956), h. 173-174.
Shireen T. Hunter, The Future of Islam and The West: Clash of Civilizations or Peaceful Coexistence?, (London: Praeger Publishers, 1998), cet. I, h. 5.
Benazir Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, (London: Simon & Schuster, 2008), h. 233.
Benazir Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 234.
Benazir Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 234.
Benazir Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West, h. 237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar